Oleh dr. Rahadi Widodo, Sp.P
Jamaah medsos sedang menunjukkan kekuatannya (lagi). Tapi dengan cara yang berbeda.
Masih ingat kejadian boikot sari roti?
Dulu, akibat boikot produk yang dipicu oleh kemarahan masyarakat di media sosial, saham sari roti sempat tertekan turun karena berkurangnya angka penjualan.
Nah, sekarang lain lagi ceritanya.
Ini tentang beras merk maknyus dan ayam jago produksi PT. IBU yang kemarin terhempas harga sahamnya dari Rp. 2.000,-/lembar menjadi hanya Rp. 400,-/lembar gara-gara aksi penggerebekan pabriknya oleh aparat pemerintah yang disertai berbagai tuduhan, mulai dari tuduhan pengoplosan beras subsidi, pemalsuan label, hingga tuduhan merugikan negara RATUSAN TRILYUN.
Ratusan trilyun, men!
Bukan main-main ini. Jadi wajar kalau dalam penggerebekan itu langsung Kapolri dan Menteri Pertanian sendiri yang tampil langsung di depan media. Hampir mengalahkan hebohnya penangkapan shabu 1 TON.
PT. IBU membantah semua tuduhan tersebut. Ya biasalah itu, wajar kalau sebuah tuduhan disambut dengan bantahan. Tapi menariknya (bagi saya) bukan itu.
Menariknya kala mengamati reaksi masyarakat. Terutama masyarakat di media sosial (karena itu yang paling mudah diamati). Takjub saya melihat status-status di facebook yang mengomentari kasus ini. Ruuaameee banget, men!
Like n share-nya bisa tembus > 10.000. Tiap status dibanjiri komen > 1000-an.
Dan itu bukan cuma satu-dua status. Banyak!
Tingkat kehebohannya ini sudah melebihi saat aksi boikot sari roti kemarin, juga lebih hot lagi dari aksi ribut-ribut soal video anto galon kemarin. Ini betul-betul hiperviral!
Aksinya kebalikan dari aksi terhadap sariroti. Kalau dulu jamaah medsos ramai-ramai mem-BOIKOT, sekarang sebaliknya ramai-ramai mem-BORONG produk yang sedang diributkan ini.
Ini yang sempat membuat saya terheran-heran campur kagum. Tadinya ketika awal muncul berita penggerebekan pabrik beras maknyus itu, saya kira masyarakat akan marah karena merasa tertipu.
Bayangkan, beritanya aja begini: Beras MAKNYUS ternyata OPLOSAN, beras SUBSIDI diberi label PREMIUM, lalu DIJUAL MAHAL.
Whoot?! Jadi selama ini kita tertipu?! Beli mahal-mahal ternyata OPLOSAAAN?! 😡😡😡
Kesal, nggak?!
Ya, kesal pasti. Saya kira waktu itu akan terjadi boikot besar-besaran terhadap beras maknyus ini. Apalagi nilai saham perusahaannya juga telah terjun bebas.
Nggak ngira kejadiannya bakal berbalik begini. Justru yang bergaung keras di masyarakat sekarang bukannya suara boikot, sebaliknya malah: "Aku mau beli!" "Aku mau beli!
"Di mana belinya? Aku mau beli!"
Borong. Borong. Borong.
Kok bisa jadi begitu, ya?
Apakah masyarakat tidak percaya pada penjelasan dari aparat negara?
Yang bicara di media saat penggerebekan tidak tanggung-tanggung, lho. Kapolri, bukan kapolsek. Menteri pertanian, bukan mantri pertanian.
Barangkali titik baliknya saat kemudian muncul bantahan dari pihak produsen beras, terutama dari komisarisnya, pak Anton Apriyantono.
Bagi sebagian orang, mungkin penjelasan pak Anton terdengar "lebih masuk akal". Atau mungkin diperparah dengan penjelasan aparat pemerintah yang (sayangnya) memunculkan tanda-tanya.
Yang paling parah, pak Menteri menghitung keuntungan PT. IBU (alias kerugian negara) begini: Dari 1.161 ton beras yg digerebek di pabrik, dengan keuntungan setidaknya 10 ribu/kg, maka didapat 1.000.000 kg x Rp. 10.000,- = 10 TRILYUN!
Nah. Bingung, nggak?
Pernyataan pak Kapolri bahwa dalam kasus ini melibatkan kerugian negara hingga 400 TRILYUN juga awalnya terdengar WOW.
Penjelasan berikutnya dari anak buah pak Kapolri dan pak Mentri menanggapi bantahan dari PT. IBU, bahwa yang dimaksud KERUGIAN NEGARA RATUSAN TRILYUN itu bukan hanya keuntungan PT. IBU tapi juga dari pihak-pihak lain (yang awalnya tidak disebut-sebut, hanya PT. IBU) membuat pernyataan-pernyataan aparat sebelumnya tentang kasus ini jadi terasa gimanaaa gitu, valid gak ya?
Setelah poin "merugikan negara" jadi terlihat abu-abu karena simpang-siurnya pernyataan kedua belah pihak, dan poin "merugikan petani" pun terpatahkan oleh pernyataan aparat sendiri bahwa PT. IBU membeli gabah petani dengan harga tinggi (bahkan lebih tinggi dari patokan harga pemerintah), kini poin "merugikan konsumen" pun terpatahkan dengan aksi borong yang muncul sebagai bentuk dukungan masyarakat terhadap merk maknyus ini.
Keterangan pemerintah bahwa ketetapan HET Rp. 9.500,-/kg itu berlaku untuk beras apapun, tak peduli kualitas medium ataupun premium (bahkan kualitas "makanan ayam" sekalipun) memberikan SINYAL bahwa pemerintah tidak peduli beras kualitas apa yang dimakan rakyat, YANG PENTING MURAH.
Tentu, kita tahu pemerintah "tidak bermaksud begitu", tapi rakyat bisa mengira begitu.
Yang jelas, kasus ini sudah terlanjur "meledak". Tidak bisa tidak, harus ada satu atau beberapa orang yang masuk penjara terkait kasus ini.
Pak Anton Apriyantono bisa jadi yang paling mungkin kena.
Karena kalau tidak, kalau aparat kemudian tidak berhasil membuktikan PT. IBU bersalah, maka kasus ini akan menampar wajah pemerintah sendiri. Yang kemarin tampil di depan kamera tivi menenteng-nenteng karung beras seperti memamerkan barang bukti penggerebekan narkoba itu, kalau tidak terbukti, mau ditaruh di mana mukanya?
Bukan hanya soal muka, ini juga soal wibawa pemerintah. Presiden akan ikut terkena imbasnya.
PT. IBU dan jajaran direksinya mestinya dari sekarang sudah menyiapkan pengacara-pengacara terbaik. Dan banyak-banyak berdoa.
Ini bisa menjadi hari-hari yang panjang buat mereka. Dan kita? Mari menyimak saja.
No comments:
Post a Comment