Jakarta, 22
Agustus 2011
Kepada Yang Mulia
Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta
Jl. A. Sentra Primer Baru Timur
Pulo Gebang
Jakarta Timur
Perihal: Gugatan
Pembatalan Keputusan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor :
Kep– 201/D/Dsp.3/06/2011, tanggal 27 Juni 2011, Tentang
Pencegahan Dalam Perkara Pidana.
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Dengan hormat,
Saya yang bertanda-tangan di
bawah ini, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,warganegara Republik Indonesia,
pekerjaan dosen, bertempat tinggal di Jalan Karang Asem Utara No.32,
Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan (Bukti P-1)selanjutnya disebut
sebagai “Penggugat”. Penggugat dengan ini mengajukan gugatan terhadap
Jaksa Agung Republik Indonesia, berkedudukan di Jakarta, beralamat di Jl.
Sultan Hasanuddin No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan dengan demikian
berada di dalam yurisdiksi wilayah Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, untuk
selanjutnya disebut sebagai ”Tergugat”.
Adapun yang menjadi objek gugatan
Penggugat dalam gugatan ini adalah Keputusan Tergugat, yakni Keputusan Jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011
Tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana. (Bukti P-2). Mengingat
gugatan ini Penggugat daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta pada hari Senin tanggal 22 Agustus 2011, maka sesuai ketentuan Pasal 55
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara,
pengajuan gugatan ini masih berada dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh)
hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Jaksa Agung Republik
Indonesia dimaksud.
Sebelum menyampaikan petitum gugatan ini, izinkanlah Penggugat untuk terlebih dahulu menguraikan aspek-aspek formil gugatan ini yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, mengapa Penggugat tidak menggunakan upaya administratif melalui prosedur keberatan, dan aspek materil dari gugatan yang berisi argumentasi yuridis yang menjadi landasan petitum gugatan ini, sebagai berikut:
II. KEWENANGAN PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA MENGADILI GUGATAN INI
1. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 5
Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara jo
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
mendefenisikan Keputusan Tata Usaha Negara adalah “suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
kongkret, individual, dan final, yang membawa akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata”.
2. Bahwa berdasarkan definisi
sebagaimana dikemukakan dalam angka 1 di atas, Keputusan Jaksa Agung RI No:
Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara
Pidana adalah terang benderang sebuah keputusan tertulis yang berisi penetapan
(beschikking) dan langsung berlaku sejak dikeluarkan oleh pejabat yang
membuatnya (einmalig);
3. Bahwa Kejaksaan Agung RI adalah
sebuah lembaga pemerintahan yang awalnya dibentuk oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 dan disebut sebagai
“Jaksa Agung Pada Mahkamah Agung Republik Indonesia” yang kemudian diatur
dengan berbagai peraturan perundang-undangan, dan terakhir oleh Undang-Undang
No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan
bahwa Kejaksaan Agung Republik Indonesia adalah “lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang”. Dengan demikian, Kejaksaan Agung Republik Indonesia
adalah “badan tata usaha negara” sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 7
Undang-Undang No 31 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 5
Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;
4. Bahwa Jaksa Agung, menurut Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia adalah “pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan
pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan”. Dengan demikian, nyatalah bahwa
Jaksa Agung adalah “pejabat tata usaha negara” sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;
5. Bahwa Keputusan
Tergugat No: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang
Pencegahan Dalam Perkara Pidana jelas adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
6. Bahwa Keputusan Tergugat a
quo bukanlah keputusan pejabat tata usaha negara yang dikecualikan dari
pengertian keputusan pejabat tata usaha negara karena “dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana”
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf d Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Tindakan pencegahan adalah murni tindakan administratif yang didasarkan
atas kewenangan Tergugat yang diberikan oleh Pasal 35 huruf f
Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Pasal
91 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian. Kedua undang-undang ini jelas adalah undang-undang di bidang
hukum administrasi negara, dan bukan undang-undang di bidang hukum pidana.
Undang-Undang No 6 Tahun 2011 memang memuat ketentuan-ketentuan pidana khusus
keimigrasian, baik formil maupun materil yang diatur dalam Bab X “Penyidikan”
dan Bab XI “Ketentuan Pidana”. Sementara “Pencegahan dan Penangkalan” diatur
secara khusus dalam Bab IX yang terpisah dari ketentuan-ketentuan pidana formil
dan materil di bidang keimigrasian;
7. Bahwa Penggugat memang terkena
pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI karena terkait dengan
kepentingan Penyidik Kejaksaan Agung sehubungan dengan status Penggugat yang
telah ditetapkan sebagai Tersangka tindak pidana korupsi yang diduga melanggar
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah
dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal
55 ayat (1) ke 1 KUHP sejak tanggal 24 Juni 2010. Namun penyebutan
ketentuan-ketentuan dalam kedua Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHP
tersebut adalah dasar yang dijadikan Penyidik Kejaksaan Agung untuk menetapkan
Penggugat sebagai Tersangka. Pasal-Pasal kedua Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi dan KUHP itu – sebagaimana terlihat dalam konsiderans Keputusan
Tergugat a quo — sama sekali bukan menjadi dasar bagi Tergugat untuk
melakukan pencegahan kepada Penggugat;
8. Bahwa kewenangan menyatakan
seseorang menjadi Tersangka dalam suatu tindak pidana, termasuk kewenangan
untuk menghentikan penyidikan, adalah wewenang Penyidik sebagaimana diatur di
dalam KUHAP. Demikian pula kewenangan memutuskan untuk melakukan penahanan
terhadap Tersangka, serta kewenangan untuk mengubah status tahanan atau
melepaskannya, adalah kewenangan Penyidik, sebagaimana diatur pula oleh
KUHAP. Keputusan Penyidik yang berkaitan dengan menyatakan seseorang menjadi
tersangka, melakukan penahanan dan hal-hal lain yang terkait dengan keduanya,
yang didasarkan atas KUHAP, jelas bukan termasuk keputusan pejabat tata usaha
negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf d Undang-Undang No 9 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Keberatan terhadap keputusan Penyidik seperti ini,
sebagaimana diatur oleh KUHAP, dapat diajukan permohonan pra-peradilan ke
Pengadilan Negeri, bukan dipersengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara;
9. Bahwa sementara kewenangan
memutuskan untuk mencegah seseorang meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI
bukanlah kewenangan Penyidik karena KUHAP dan ketentuan-ketentuan hukum acara
yang manapun juga tidak pernah memberikan kewenangan seperti itu kepada
Penyidik. Kewenangan mencegah seseorang meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI
karena keterlibatannya dalam perkara pidana, adalah kewenangan eksklusif
yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung (Tergugat) sebagaimana diatur dalam Pasal
35 huruf f UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia jo
Pasal 92 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian. Seorang Jaksa Agung tidaklah otomatis seorang Jaksa yang
berwenang melakukan penyidikan atau penuntutan dalam perkara pidana. Seorang
Jaksa Agung dapat diangkat dari kalangan mana saja, baik Jaksa maupun bukan
Jaksa. Sementara Tergugat — in concreto Saudara Basrief Arief — yang
sekarang menjabat sebagai Jaksa Agung bukanlah seorang Jaksa, melainkan “mantan
Jaksa” karena sudah pensiun beberapa tahun yang lalu. Karena itu, lebih
tepat yang bersangkutan disebut sebagai “mantan Jaksa yang menjadi Jaksa
Agung”. Seseorang “mantan Jaksa” tidak dapat bertindak sebagai Penyidik perkara
pidana dalam struktur dan mekanisme kerja Kejaksaan Agung. Seorang mantan Jaksa,
sekalipun menjadi Jaksa Agung, tidak dapat bertindak menjadi Penyidik dan
mengambil langkah-langkah terkait dengan penyidikan dan penuntutan. Namun
seorang Jaksa Agung, tanpa memperdulikan apakah dia Jaksa atau bukan Jaksa,
berwenang untuk memutuskan melakukan pencegahan terhadap seseorang untuk
meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI karena keterlibatannya dalam perkara
pidana. Dengan demikian, adalah jelas bahwa kewenangan memutuskan melakukan
pencegahan bukanlah kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan yang
didasarkan kepada KUHAP, KUHP dan ketentuan-ketentuan di bidang hukum pidana
lainnya, tetapi semata-mata adalah kewenangan administratif pejabat tata
usaha negara, walaupun orang yang dikenai pencegahan mempunyai keterlibatan
dengan suatu tindak pidana;
10. Bahwa Keputusan Tergugat
No: Kep- 201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam
Perkara Pidana – meskipun formatnya mengandung kejanggalan-kejanggalan
sebagaimana layaknya sebuah Keputusan, sebagaimana akan diuraikan dalam angka
III nanti — adalah keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final
serta membawa akibat hukum, dengan alasan sebagai berikut:
–
Bahwa Keputusan Tergugat a-quo secara sepintas dilihat dari judulnya
mengesankan sifatnya yang berlaku umum yakni “Pencegahan Dalam Perkara Pidana”,
namun isinya bersifat konkrit karena objek yang disebutkan dalam Keputusan
itu tidak abstrak, tetapi berwujud dan nyata-nyata secara tegas
menyebutkan “tindakan pencegahan keberangkatan ke luar negeri” yang
di dalam diktumnya menyebutkan nama Penggugat, dengan identitasnya, sebagai
subyeknya hukum yang dikenakan pencegahan;
–
Bahwa Keputusan Tergugat a-quo bersifat individual karena
tidak ditujukan kepada umum, tetapi secara spesifik ditujukan kepada
Penggugat, dan karena itu Keputusan a-quo hanya berlaku kepada
Penggugat, tidak berlaku kepada orang lain, apalagi kepada umum;
–
Bahwa Keputusan Tergugat a-quo telah bersifat final karena
tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi lain baik bersifat horizontal
maupun vertikal. Pasal 35 huruf f Undang-Undang RI No 16 Tahun 2004
dengan tegas menyebutkan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk
“mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai
peraturan perundang-undangan”. Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994 tentang
Tata Cara Pencegahan dan Penangkalan, serta Peraturan Jaksa Agung No
PER-010/A/J.A/01/2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa
Agung untuk melakukan Pencegahan dan Penangkalan, juga dengan tegas menyebutkan
kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan, tanpa
menyebutkan putusannya itu masih memerlukan persetujuan dari pejabat atau
instansi lain, baik vertikal maupun horizontal;
–
Bahwa Menteri Hukum dan HAM yang membawahi Direktorat Jenderal Imigrasi,
bukanlah instansi yang perlu dimintai persetujuan agar Keputusan
Tergugat a-quo mempunyai kekuatan hukum yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 angka 3 Undang-Undang RI No 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketentuan Pasal 91 ayat (2) UU No 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian menyatakan bahwa Menteri Hukum dan HAM hanyalah
“melaksanakan Pencegahan” berdasarkan Keputusan yang antara lain dilakukan oleh
Tergugat. Sementara Pasal 91 ayat (3) UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
menyatakan bahwa Tergugat selaku “pimpinan kementerian/lembaga yang memiliki
kewenangan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f
bertanggungjawab atas keputusan, permintaan, dan perintah Pencegahan yang
dibuatnya”.
–
Bahwa Keputusan Tergugat a-quo telah menimbulkan akibat hukum,
yakni Penggugat nyata-nyata tidak dapat meninggalkan tanah air untuk bepergian
ke luar negeri, karena berdasarkan Surat Keputusan Tergugat, nama Penggugat
telah nyata-nyata dicantumkan dalam daftar imigrasi sebagai subyek yang terkena
pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI. Selain daripada itu,
pejabat Imigrasi juga secara resmi telah menarik dan meminta Penggugat untuk
menyerahkan paspor Penggugat kepada instansi yang bersangkutan
11. Bahwa Keputusan
Tergugat a quo nyata-nyata telah menimbulkan kerugian kepada
Penggugat, dengan tidak leluasanya Penggugat meninggalkan wilayah Negara
Kesatuan RI dan kembali lagi, sebagaimana layaknya seorang warganegara dalam
keadaan yang normal. Padahal kemerdekaan dan keleluasaan untuk pergi dan
kembali dari/dan ke wilayah negara sendiri adalah hak asasi manusia yang
dijamin oleh UUD 1945, Universal Declaration of Human Rigths, United Nations
Covenant on Civil and Political Rights, dan Undang-Undang No 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.Akibat pencegahan ini, Penggugat telah menderita
kerugian baik moril, materil, akademik maupun politik. Kerugian moril antara lain
Penggugat tidak dapat mengunjungi kaum kerabat karena pertalian darah yang
sebagian adalah warganegara Malaysia dan Singapura, termasuk kerabat semenda
karena perkawinan yang semuanya berkewarganegaraan Jepang dan Filipina.
Kerugian materil, Penggugat tidak dapat menjankan aktivitas sebagai Advokat
menghadiri rapat-rapat dengan klient di luar negeri, termasuk menghadiri
negosiasi-negosiasi dengan perusahaan asing di luar negeri dalam rangka
investasi. Sementara kerugian akademis, Penggugat tidak dapat melaksanakan
tugas mengajar di Malaysia dan menghadiri berbagai kegiatan akademik di luar
negeri. Kerugian politis, Penggugat tidak dapat memenuhi permintaan Pemerintah
negara lain yang meminta Penggugat memecahkan beberapa persoalan yang mereka
hadapi. Kepentingan Penggugat untuk membatalkan pencegahan itu dengan
melakukan upaya hukum adalah adalah jelas karena didasarkan atas kerugian yang
nyata yang dialami Penggugat. Karena itu, Penggugat menganggap bahwa adagium “point
de interet point de’action” telah terpenuhi untuk melakukan gugatan ini;
12. Bahwa Penggugat, dengan
alasan-alasan yuridis sebagaimana akan diuraikan dalam angka III nanti, dengan
tegas menolak Keputusan Tergugat a-quo karena menurut Penggugat
keputusan tersebut memenuhi ketententuan-ketentuan yang menjadi alasan
dibatalkannya keputusan dimaksud sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 53 ayat
(2) huruf a, b dan c Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara. Dengan adanya penolakan Penggugat ini, maka sebagaimana didefinisikan
dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara jo Pasal 1 angka 10 Undang-Undang RI No 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara, penolakan tersebut telah dapat digolongkan sebagai “sengketa tata
usaha negara”;
13. Bahwa ketentuan Pasal 47
Undang-Undang RI No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
menegaskan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara “bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”;
14. Bahwa ketentuan Pasal 30
Peraturan Pemerintah No 15 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan
Penangkalan menegaskan bahwa Keputusan Pencegahan atau Penangkalan dinyatakan
berakhir karena (a) telah habis masa berlakunya; (b) dicabut oleh pejabat yang
berwenang menetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1)
dan ayat (2); atau (c) dicabut berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara;
15. Bahwa pejabat yang berwenang
menetapkan pencegahan dan penangkalan sebagaimana diatur dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994 sebagaimana dikemukakan dalam angka 11 di
atas antara lain adalah Jaksa Agung Republik Indonesia (Tergugat). Dengan
demikian, Keputusan Jaksa Agung tentang pencegahan seseorang karena
keterlibatannya dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf f
Undang-Undang No 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesi, berdasarkan peraturan
pelaksananya undang-undang ini, dapat dicabut berdasarkan putusan Peradilan
Tata Usaha Negara;
16. Bahwa oleh karena badan
peradilan pada dasarnya adalah bersikap pasif, maka tidak mungkin Pengadilan
Tata Usaha Negara akan dengan begitu saja mengambil inisiatif memutuskan untuk
mencabut suatu keputusan pencegahan atau penangkalan sebagaimana telah
dikemukakan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994. Pengadilan
Tata Usaha Negara hanya mungkin akan memutuskan demikian, setelah orang yang
terkena pencegahan atau penangkalan melakukan gugatan, dan isi gugatan itu beserta
argumentasi yuridisnya dapat diterima dan dipandang beralasan oleh majelis
hakim sehingga dikabulkan;
17. Bahwa berdasarkan argumentasi
sebagaimana diuraikan dalam angka 1 sampai angka 13 di atas, Penggugat
menyimpulkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara, dalam hal ini Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta, yang yurisdiksinya mencakupi tempat kedudukan Tergugat
sebagaimana telah diuraikan di awal Surat Gugatan ini, tidak ada keraguan
sedikitpun juga untuk menyimpulkan bahwa pengadilan ini berwenang untuk
memeriksa dan memutus sengketa sebagaimana tertuang dalam Surat Gugatan ini.
II MENGAPA
PENGGUGAT TIDAK MELAKUKAN UPAYA ADMINISTRATIF
1. Bahwa berbeda dengan UU No 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang tidak mengenal adanya upaya administratif
(administratief beroep) terhadap keputusan pencegahan terhadap seseorang,
Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian – yang disahkan tanggal 5
Mei 2011 – memberikan pengaturan tentang adanya upaya administratif itu.
Ketentuan itu mengatakan “Setiap orang yang dikenai pencegahan dapat
menyampaikan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan”. Selanjutnya
dikatakan bahwa “keberatan harus disampaikan secara tertulis dalam jangka waktu
selama berlakunya pencegahan. Penyampaian keberatan tidak menunda pencegahan
(Pasal 96 UU N0 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian”. Hanya itu saja ketentuan
mengenai upaya administratif dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian;
2. Bahwa Penggugat berpendapat norma
yang mengatur tentang upaya administratif melalui prosedur “keberatan”
sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian di atas masih terlalu sumir untuk dapat dilaksanakan dalam
praktik. Sebagaimana telah Penggugat katakan, Undang-Undang No 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian dan semua peraturan pelaksanaannya belum pernah memuat
norma yang mengatur upaya administratif melalui prosedur keberatan, sehingga
hal ini sepenuhnya merupakan norma baru yang diperkenalkan oleh Undang-Undang
No 6 Tahun 2011. Karena itu belum pernah ada precedent yang dapat
dijadikan acuan oleh Penggugat maupun Tergugat untuk bagaimana caranya
mengajukan dan menangani serta menyelesaikan upaya administratif melalui
prosedur keberatan;
3. Bahwa norma yang diatur di dalam
Pasal 96 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 yang singkat dan sumir itu masih
menyisakan berbagai hal terkait ketentuan-ketentuan teknis untuk
melaksanakannya. Ketentuan Pasal 96 itu hanya mengatakan bahwa keberatan
disampaikan secara tertulis dalam masa berlakunya pencegahan. Hal yang sangat
penting berkaitan dengan hak mereka yang terkena pencegahan dan mengajukan
upaya administratif melalui prosedur keberatan ialah: berapa lamakah keberatan
yang mereka ajukan akan diputusan oleh pejabat yang mengeluarkan keputusan
pencegahan. Hal ini tidak diatur dalam undang-undang, sehingga, jika tidak
diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh
undang-undang dimaksud, maka pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum
yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan asas kepastian hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28D UUD 1945. Apalagi, jika
hal ini dikaitkan dengan sikap mental pejabat tata usaha negara yang cenderung
mengabaikan dan tidak memperdulikan keberatan-keberatan yang diajukan atas keputusannya.
Karena sumirnya norma yang mengatur upaya administratif ini, maka ketentuan
Pasal 103 yang merupakan pasal penutup dalam Bab IX Undang-Undang No 6 Tahun
2011 dengan judul Bab “Pencegahan dan Penangkalan” mengatakan “Ketentuan lebih
lanjut mengenal pelaksanaan pencegahan dan penangkalan diatur dengan Peraturan
Pemerintah”.
4. Bahwa berdasarkan uraian dalam
angka 3 di atas, jelaslah ada norma yang bersifat imperatif dalam ketentuan
Pasal 103 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 untuk mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan
mengenai pencegahan dan penangkalan dengan Peraturan Pemerintah. Sementara
Peraturan Pemerintah sekarang yang ada dan masih dinyatakan berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2011 ini hanyalah Peraturan
Pemerintah No 30 Tahun 1994, yang samasekali belum mengatur tentang mekanisme
prosedur penyampaian keberatan dan penyelesaian upaya administratif, mengingat
Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 memang belum memuat norma yang mengatur hal itu;
5.Bahwa Pasal 144 Undang-Undang No
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah untuk
melaksanakan undang-undang ini harus dikeluarkan selambat-lambatnya satu tahun
sejak disahkannya undang-undang tersebut. Hingga gugatan ini diajukan ke PTUN
Jakarta, Peraturan Pemerintah tersebut belum diterbitkan. Penggugat membatasi
diri dalam memahami pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2011, dengan
mengemukakan pendapat bahwa ketentuan-ketentuan mengenai upaya administratif
dalam undang-undang ini belum dapat dilaksanakan karena belum ada Peraturan
Pemerintahnya. Sementara Wakil Jaksa Agung Darmono berpendapat lebih ekstrim
dengan mengatakan bahwa seluruh materi Undang-Undang No 6 Tahun 2011 ini belum
berlaku, karena belum ada Peraturan Pemerintahnya, yang harus dikeluarkan
paling lambat satu tahun sejak disahkannya undang-undang dimaksud. Sebab itu,
Tergugat telah mencegah Penggugat dengan menggunakan Undang-Undang No 9 Tahun
1992, meskipun undang-undang ini telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak
tanggal 5 Me1 2011;
6. Bahwa selain argumentasi yuridis
yang Penggugat kemukakan dalam angka 1 sampai angka 5 di atas, norma yang
dirumuskan di dalam Pasal 96 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, mengatakan bahwa terhadap keputusan pencegahan, orang yang
dikenai pencegahan “dapat” mengajukan keberatan kepada pejabat yang
mengeluarkan keputusan itu. Kata “dapat” dalam rumusan Pasal 96 menunjukkan
bahwa upaya administratif tersebut bukanlah sesuatu yang absolut harus
ditempuh oleh orang yang terkena pencegahan. Kata “dapat” bersifat
tentatif yang mengandung makna “hak” yang dimiliki seseorang yang terkena
pencegahan, yang boleh digunakannya, boleh juga tidak. Perumus undang-undang,
jika menempatkan kata “dapat” dalam rumusan norma di dalam pasal, selalu
menyadari bahwa kata itu bersifat alternatif, karena di samping cara yang
disebutkan, masih ada alternatif cara lain. Sementara cara lain, yang sudah
diketahui secara luas adalah, setiap keputusan pencegahan yang merupakan
keputusan pejabat tata usaha negara yang dipersengketakan, cara
menyelesaikannya adalah dengan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara;
7. Bahwa Pasal 48 UU No 5 Tahun 1986
tentang Pengadilan Tata Usaha Negara memang menyebutkan bahwa penyelesaian
melalui pengadilan adalah upaya terakhir setelah upaya administratif yang
ditempuh telah digunakan. Penggugat berpendapat bahwa ketentuan ini
mengisyaratkan upaya administratif itu memang merupakan suatu kewajiban yang
harus ditempuh oleh orang yang terkena keputusan dan merasa dirugikan apabila
hal itu memang merupakan suatu keharusan, namun jika hal itu bersifat
tentatif, maka terbuka saja kesempatan bagi orang yang terkena pencegahan untuk
langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Apalagi jika
orang tersebut secara subyektif berkeyakinan bahwa melakukan upaya
administratif hanya akan membuang waktu yang kecil sekali kemungkinannya akan
dikabulkan;
8. Bahwa berdasarkan uraian dalam
angka 1 sampai 7 di atas, Penggugat menyimpulkan bahwa Penggugat secara sengaja
tidak ingin menempuh upaya administratif melalui mekanisme penyampaian
keberatan dalam kasus yang Penggugat hadapi, melainkan langsung mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan dua alasan, yakni (1) norma
yang mengatur upaya administratif dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2011 bersifat
sumir dan belum dapat dilaksanakan tanpa adanya Peraturan Pemerintah yang
mengaturnya lebih lanjut; (2) Keberadaan upaya administratif sebagaimana diatur
dalam Pasal 96 Undang-Undang No 6 Tahun 2011, bukanlah bersifat absolut,
melainkan adalah hak yang boleh digunakan oleh Penggugat atau tidak. Penggugat,
dengan pertimbangan-pertimbangan subyektifnya sendiri, memilih untuk tidak
menggunakan hak itu dan langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara;
III.ARGUMENTASI YURIDIS
PENGGUGAT MENOLAK KEPUTUSAN TERGUGAT A QUO
1. Bahwa Keputusan Tergugat
No: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 yang menjadi obyek sengketa
dalam gugatan ini, bukanlah Keputusan yang berdiri sendiri. Keputusan a
quo terkait dan tidak dapat dipisahkan dari Keputusan Tergugat sebelumnya
No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam
Perkara Pidana yang dalam diktumnya memutuskan dan menetapkan Penggugat dikenai
pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI selama 1 (satu) tahun
“terhitung mulai tanggal 26 Juni 2011, sejak berakhirnya Keputusan Jaksa Agung
RI Nomor: Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 tentang pencegahan dalam
perkara pidana terhadap Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra”;
2. Bahwa Keputusan Tergugat No
Kep-212/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 25 Juni 2011 yang berisi pencegahan terhadap
Penggugat, dalam konsideran mengingatnya selain menggunakan Undang-Undang No 9
Tahun 1992 tentang Kemigrasian, juga menggunakan Undang-Undang No 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan, serta Peraturan Jaksa Agung No:
Per-010/A/J.A/01/2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Jaksa
Agung untuk Melakukan Pencegahan dan Penangkalan. Atas dasar aturan-aturan ini,
maka Penggugat dikenakan pencegahan selama 1 (satu) tahun, terhitung sejak
tanggal 25 Juni 2010 sampai dengan 25 Juni 2011. Ketentuan yang mengatur bahwa
Tergugat boleh mencegah Penggugat selama 1 (satu) tahun tidaklah ditemukan
dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang disebutkkan di atas,
melainkan diatur dalam Peraturan Terugat No: Per-010/J.A/01/2010;
3. Pada tanggal 5 Mei 2011
Undang-Undang yang menjadi dasar pencegahan terhadap Penggugat, yakni
Undang-Undang No 9 Tahun 1992, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dan
digantikan dengan undang-undang yang baru, yakni Undang-Undang No 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian. Pencabutan Undang-Undang No 9 Tahun 1992 yang menjadi
dasar pencegahan itu terjadi lebih kurang 50 hari sebelum pencegahan terhadap
Penggugat berakhir pada tanggal 25 Juni 2011. Perubahan hukum dengan pergantian
undang-undang ini membawa implikasi kepada pencegahan Penggugat, karena
Undang-Undang No 6 Tahun 2011 membatasi masa pencegahan maksimum hanya 6 (enam)
bulan, meskipun sesudah itu dapat diperpanjang untuk setiap kali 6 (enam) bulan
lamanya. Sementara terhadap Penggugat, pencegahan dilakukan untuk masa 1
(satu) tahun berdasarkan Peraturan Tergugat a quo. Dalam Bab IX
Undang-Undang No 6 Tahun 2011 yang mengatur tentang peralihan, tidak terdapat
ketentuan yang mengatur bagaimanakah nasib keputusan pencegahan berdasarkan
Undang-Undang No 9 Tahun 1992 dengan berlakunya Undang-Undang No 6 Tahun 2011.
Pasal 141 Undang-Undang No 6 Tahun 2011 hanya mengatur peralihan dalam hal izin
keimigrasian, suami atau istri dalam perkawinan campuran yang memiliki izin
tinggal terbatas, dokumen perjalanan RI dan penyidikan tindak pidana
keimigrasian. Tidak ada ketentuan peralihan mengenai masa pencegahan dan
penangkalan;
4. Bahwa Penggugat berpendapat,
dengan berlakunya Undang-Undang No 6 Tahun 2011 yang membatasi masa pencegahan
maksimum 6 (enam) bulan, maka keputusan pencegahan selama 1 (satu) tahun yang
dilakukan berdasarkan Undang-Undang No 9 Tahun 1992 beserta peraturan
pelaksanaannya, yakni Peraturan Tergugat a quo, dengan sendirinya
batal demi hukum. Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian telah
dicabut dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2011. Sementara, Peraturan
Tergugat a quoyang mengatur masa pencegahan maksium 1 (satu) tahun
nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang No 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 143 undang-undang ini,
ketentuan masa pencegahan maksimum 1 (satu) tahun tersebut dengan sendirinya
telah tidak berlaku lagi.
5. Bahwa walaupun secara formil,
Tergugat mendiamkan saja Keputusan Tergugat No: Kep-202/D/Dsp.3/06/2011 dan
tidak pernah berinisiatif mencabut atau memperbaikinya untuk disesuaikan dengan
Undang-Undang No 6 Tahun 2011, namun secara materil Keputusan pencegahan selama
1 (satu) tahun sudah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Ini sejalan
dengan prinsip umum dalam hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat
(3) Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menyatakan “Setiap ada perubahan pada peraturan perundang-undangan, maka
berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka”. Walaupun ketentuan
secara spesifik mengatur perubahan hukum dalam kaitannya dengan perkara pidana,
namun prinsip yang dikandungnya dapat ditafsirkan sebagai berlaku umum
dalam setiap kasus hukum. Tergugat memang tidak mungkin melakukan perbaikan
atas Keputusannya, karena terbukti sampai tanggal 25 Juni 2011, Tergugat tidak
mengetahui bahwa Undang-Undang No 9 Tahun 1992 telah dicabut dan diganti dengan
Undang-Undang No 6 Tahun 2011, sehingga Tergugat “memperpanjang” pencegahan
terhadap Penggugat dengan menggunakan dasar hukum undang-udang yang sudah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketidaktahuan Tergugat terhadap perubahan
ini sungguh memalukan, sehingga Penggugat menyurati Presiden untuk menegur
Tergugat sekeras-kerasnya, dan bilamana perlu memberhentikan Tergugat dari
jabatannya karena ketidakmampuan menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai
Jaksa Agung.
6. Bahwa dengan berlakunya
Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada tanggal 5 Mei
2011 yang membatasi masa pencegahan maksimum 6 (bulan), maka terhitung
sejak tanggal itu, semua keputusan pencegahan yang melampaui batas waktu enam
bulan, dengan sendirinya, demi hukum, sudah harus dianggap tidak berlaku lagi,
demi kepastian hukum dan keadilan. Karena itu, Penggugat berpendapat bahwa
Keputusan Tergugat No: Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang
mencegah Penggugat selama 1 (satu) tahun yang seharusnya berakhir tanggal 25
Juni 2011, secara materil sudah tidak berlaku lagi sejak tanggal 5 Mei 2011
dengan berlakunya Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian;
7. Bahwa Tergugat ternyata baru
mengeluarkan Keputusan No Kep- 195/D/Dsp.2/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 yang
memperpanjang masa pencegahan sebelumnya yang didasarkan atas Keputusan
Tergugat No: Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 dan menganggap bahwa pencegahan sebelumnya
baru berakhir tanggal 25 Juni 2011, tanpa mengindahkan, karena tidak tahu,
bahwa Undang-Undang No 6 Tahun 2011 telah diberlakukan terhitung tanggal 5 Mei
2011. Tergugat – sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya di
atas – ternyata dalam perpanjangan masa pencegahan ini masih menggunakan
Undang-Undang No 9 Tahun 1992 dan mencegah Penggugat untuk masa 1 (satu) tahun
lagi ke depan sampai tanggal 25 Juni 2012. Seketika Tergugat mengeluarkan
Keputusan No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011. Penggugat, pada
tanggal 27 Juni 2011 langsung mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta untuk
membatalkan Keputusan tersebut;
8. Bahwa langkah Penggugat untuk
mendaftarkan gugatan atas Keputusan Tergugat No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011
mendapat reaksi dari Tergugat dan jajarannya sehingga terjadi polemik di media
massa antara Penggugat dengan Wakil Jaksa Agung Darmono, Menteri Hukum dan HAM
Patrialis Akbar, serta beberapa Pejabat Struktural di Direktorat Jenderal
Imigrasi. Wakil Jaksa Agung Darmono berkeras mengatakan bahwa Keputusan
Tergugat dimaksud telah benar dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga balik menuding Penggugat mengajukan
gugatan yang tidak berdasar. Sampai dengan tanggal 27 Juni 2011 sore dan Selasa
tangga 28 Juni pagi, Wakil Jaksa Agung Darmono masih terus mempertahankan
pendiriannya bahwa Keputusan Tergugat No Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 adalah
benar dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;
9. Bahwa setelah polemik berlangsung
dan Keputusan Tergugat No Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 menarik perhatian kalangan
politis, maka Tergugat dalam komunikasinya dengan Menteri Hukum dan HAM
Patrialis Akbar mengatakan akan merevisi Keputusan pencegahan terhadap
Penggugat. Komunikasi itu terjadi pada hari Senin malam tanggal 27 Juni 2011.
Tergugat dan jajarannya, nampaknya baru terkesima menyadari kesalahan karena
ketidaktahuannya bahwa Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian telah
dicabut, sehingga Keputusan Tergugat No: Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 mengandung
kesalahan yang fatal. Namun suatu keanehan dalam pandangan Penggugat, nampak
telah terjadi dengan revisi Keputusan dimaksud, melalui Keputusan
Tergugat a quoyang tanggalnya dicantumkan “27 Juni 2011”. Berdasarkan
bukti-bukti yang Penggugat kemukakan di atas, maka Penggugat berkeyakinan
penggunaan tanggal “27 Juni 2011” dalam Keputusan Tergugat a quo adalah
tanggal palsu, yakni tanggal yang dimundurkan ke belakang, sehingga berakibat
Keputusan Tergugat a quo berlaku surut sejak tanggal 27 Juni 2011;
10. Bahwa memberlakukan suatu
Keputusan yang membawa akibat hukum bagi seseorang secara surut ke belakang
(retro-aktif) adalah bertentangan dengan hak asasi manusia, yang substansinya
diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 4 jo ayat Pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu,
pencantuman tanggal mundur dalam Keputusan Tergugat a quo sehingga
keputusan itu berlaku secara retro-aktif adalah bertentangan dengan hukum yang
berlaku. Suatu keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, adalah salah satu alasan bagi Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk membatalkan keputusan pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang 9 Tahun 2004 tentang PerubahanAtas
Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
11. Bahwa Keputusan Tergugat a
quo, dilihat dari sudut format dan redaksinya, adalah tidak lazim sebagaimana
layaknya sebuah Keputusan sebuah lembaga Pemerintahan yang bertugas menegakkan
hukum. Keputusan Tergugat a quo tidaklah secara sistematis
mengemukakan apakah dasar pemikiran perlunya dilakukan pencegahan terhadap
Penggugat, yang lazimnya dituangkan dalam konsideran “menimbang” dan apakah
dasar-dasar hukum yang dijadikan rujukan dalam pengambilan keputusan tersebut
yang lazimnya dituangkan di dalam konsideran “mengingat” dan kemudian secara
sistematis pula merumuskan apa yang menjadi diktum dari keputusan itu.
Konsideran “menimbang” dan “mengingat” dalam Keputusan a quo tidak
jelas. Begitu juga diktum keputusannya terasa mengandung kejanggalan.
12. Bahwa antara Judul
Keputusan a quo dengan diktum keputusannya tidak menunjukkan
kesinambungan alur berpikir yang logis dan sistematis, sehingga dilihat dari
sudut pandangan hukum Keputusan a quo sebenarnya adalah keputusan
yang membingungkan. Judul Keputusan a quo adalah “PENCEGAHAN DALAM
PERKARA PIDANA”, sementara dalam diktum Keputusannya “menetapkan” 1. Mencabut
Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-195/D/Dsp.3/6/2011 tanggal 24 Juni 2011
sejak tanggal ditetapkan Keputusan Jaksa Agung yang baru; 2. Memperbaiki dan
menerbitkan Keputusan Jaksa Agung RI tentang pencegahan dalam perkara
pidana. Selanjutnya dikatakan:
PERTAMA: Terhadap Seseorang
dengan identitas sebagai berikut:
Nama
lengkap
: Prof. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA
Tempat
lahir
: Belitung
Umur, tanggal lahir : 55 Tahun/5 Pebruari 1956
Jenis
Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat
tinggal :
Jalan Karang Asem Utara 32, Kuningan, Jakarta
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan
: S-3 (Universiti Sains Malaysia)
karena dugaan keterlibatannya melakukan tindak pidana korupsi dalam pungutan
biaya akses fee dan biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Sistem
Administrasi Badan Hukum Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen
Hukum dan HAM RI, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No.
31 tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No.20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KEDUA: Keputusan ini berlaku
selama 6 (enam) bulan terhitung mulai tanggal 26 Juni 2011 sejak berakhirnya
Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010
tentang pencegahan dalam perkara pidana terhadap Prof. Dr. YUSRIL IHZA
MAHENDRA;
Cara Tergugat merumuskan sebuah
Keputusan yang tidak sistematis serta membingunkan menunjuk cara kerja Tergugat
yang tidak professional, yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik, sehingga menjadi alasan untuk membatalkannya, sebagaimana
diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
13. Bahwa kewenangan yang
diberikan kepada Tergugat sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf f
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, bunyinya jelas yakni
“mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.” Maka logisnya jika kewenangan yang
bersumber dari undang-undang ini dituangkan ke dalam sebuah Keputusan, maka Judul
Keputusan Tergugat a quo yang logis adalah “Pencegahan untuk Keluar
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Terhadap Prof. Dr. Yusril Ihza
Mahendra karena Keterlibatannya dalam Perkara Pidana”, barulah kemudian
dikemukakan konsideran menimbang, mengingat, membaca, memperhatikan dan
sebagainya sebelum akhirnya sampai kepada diktum keputusan, yang menyangkut
identitas orang yang dikenai pencegahan ke luar negeri beserta lamanya jangka
waktu pencegahan. Keputusan Tergugat betapapun dapat dipahami isinya, namun
adalah keputusan yang tidak cermat dan sekaligus tidak menggambarkan cara
bekerja yang professional yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik, sehingga menjadi alasan untuk dibatalkan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 53 ayat (2) huruf B Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tengang Perubahan Atas
Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;
14. Bahwa terlepas dari
ketidakcermatan perumusan Keputusan a quo, yang terbaca secara jelas dalam
konsideran “menimbang” Keputusan a quo adalah kalimat yang mengatakan
“Bahwa dalam rangka mendukung operasi Yustisi pada tahap penyidikan, dipandang
perlu untuk melakukan tindakan pencegahan keberangkatan ke luar negeri terhadap
tersangka tersebut pada halaman dua, dengan menerbitkan Keputusan Jaksa Agung
RI”. Jadi, inilah satu-satunya alasan rasional mengapa terhadap Penggugat,
perlu dilakukan pencegahan, dengan mengingat bahwa kewenangan Tergugat dalam
melakukan pencegahan seseorang meninggalkan wilayah RI karena “keterlibatannya
dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan”;
15. Bahwa terminologi
“keterlibatan” seseorang “dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan” adalah terminologi yang multi tafsir seperti halnya
teminologi seseorang “terlibat G 30 S PKI” di zaman Orde Baru dahulu.
Istilah “terlibat” adalah istilah politik yang digunakan oleh militer Orde Baru
dan bukan istilah hukum. Dalam kasus Tergugat, Tergugat memang lebih dahulu
dinyatakan sebagai “Tersangka”, sehingga makna “terlibat” menjadi jelas. Dalam
kapasitas sebagai “tersangka” itulah terhadap Penggugat dikenakan pencegahan,
dan pencegahan itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
16. Bahwa pada hemat Penggugat,
kewenangan Tergugat untuk melakukan pencegahan karena keterlibatan seseorang
“dalam perkara pidana sesuai peraturan perundang-undangan” haruslah dikaitkan
dan disesuaikan antara lain dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) sebagai induk dari hukum acara pidana di negara ini. Dalam kedudukan
Penggugat sebagai Tersangka itu, sesuai KUHAP, maka hanya akan ada dua tahapan
yang dapat ditempuh dalam proses hukum terhadap Penggugat, yakni
tahapan “Penyidikan” dan tahapan “Penuntutan”. Kedua tahapan ini secara
tegas dipisahkan oleh KUHAP, yang masing-masing di atur dalam Bab IV
“Penyidikan” dan Bab XV “Penuntutan”. Oleh karena itu, agar kewenangan
pencegahan itu dilakukan Tergugat sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, Tergugat hanya mungkin melakukannya dalam konteks “penyidikan” atau
“penuntutan” atau kedua-duanya sekaligus. Di luar kedua konteks ini, tindakan
Tergugat untuk mencegah Penggugat adalah tindakan kesewenang-wenangan
karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks
ini, Tergugat menyatakan dalam pertimbangan Keputusan a quobahwa perlu
mencegah Penggugat untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI dalam rangka
“operasi Yustisi pada tahap penyidikan”. Jadi jelas bahwa pencegahan itu
dilakukan untuk tahap penyidikan, bukan dan/atau tidak termasuk dalam
rangka “operasi Yustisi pada tahap penuntutan”;
17. Bahwa Penggugat telah
dinyatakan sebagai Tersangka sejak tanggal 24 Juni 2010 dan sejak itu proses
penyidikan terhadap Penggugat telah dilakukan, demikian juga pemeriksaan
terhadap saksi-saksi, kecuali saksi yang menguntungkan, yakni Megawati
Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhohoyono yang Penggugat minta berdasarkan
ketentuan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP yang ditolak untuk
dipanggil oleh penyidik dan petinggi Kejaksaan Agung. Di tengah polemik
Penggugat dengan unsur pimpinan Kejaksaan Agung ini, Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus (Jampidsus) M. Amari mengumumkan kepada publik bahwa
penyidikan terhadap Penggugat sudah selesai dan berkas perkara sudah P-21 pada
tanggal 21 Januari 2011. Pernyataan kepada publik bahwa status berkas perkara
Penggugat sudah P-21 dinyatakan secara berulang-ulang oleh Jampidsus Amari dan
kemudian oleh Jampidsus Andi Nirwanto, dan bahkan oleh Tergugat, dan terakhir
diulangi lagi oleh Tergugat ketika Mahkamah Konstitusi telah memutuskan perkara
No. 65/PUU/IX/2010 yang mewajibkan penyidik untuk memanggil saksi-saksi
menguntungkan yang diminta Penggugat. Pernyataan Pimpinan Kejaksaan Agung yang
berulang-ulang bahwa berkas perkara Penggugat telah P-21 di berbagai media
massa dan tidak pernah dilakukan bantahan meskipun hak jawab diberikan oleh
undang-undang pers, haruslah dianggap sebagai informasi yang benar dan dapat
dipercaya oleh publik di tanah air, termasuk oleh Penggugat;
18. Bahwa karena “operasi Yustisi
di tahap penyidikan” kepada Penggugat telah selesai dan berkas perkara telah
dinyatakan lengkap dan dinyatakan P-21 pada tanggal 21 Januari 2011, maka
Keputusan Tergugat a quo yang mencegah penggugat meninggalkan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 27 Juni 2011, jelas adalah tindakan
yang tidak sesuai atau bertentangan dengan KUHAP sebagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Adanya keputusan pejabat tata usaha negara
yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku adalah menjadi salah
satu alasan untuk membatalkan Keputusan Tergugat a quosebagaimana diatur
dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara;
19. Bahwa menurut keterangan
Tergugat, meskipun berkas perkara sudah P-21 dan tidak pernah ada lagi
pemeriksaan kepada Penggugat sejak akhir Desember 2010, namun Kejaksaan Agung
hingga kini belum juga melimpahkan berkas perkara Penggugat ke pengadilan,
karena pada tanggal 22 Desember 2010 Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat
kasasi telah melepaskan Romli Atmasasmita – mantan Dirjen Administrasi Hukum
Umum, Departemen Kehakiman dan HAM — dari segala tuntutan hukum (ontslag van
alle rechtsvervolging). Tergugat berulangkali menyatakan kepada publik bahwa
lembaganya tengah menelaah putusan kasasi Mahkamah Agung yang melepaskan Romli
Atmasasmita karena putusan itu membawa implikasi kepada Penggugat, yakni apakah
perkara Penggugat akan diteruskan ke pengadilan atau dihentikan dengan
menerbitkan SKP2 (Surat Keputusan Penghentian Penuntutan). Mengingat Romli
didakwa bersama-sama dengan Penggugat dan dalam dalam Surat Panggilan terhadap
Penggugat sebagai Tersangka, dicantumkan Pasal 55 ke satu ayat (1) KUHP yang
menunjukkan Penggugat sebagai “turut serta” melakukan apa yang dilakukan Romli.
Dalam proses pemeriksaan, Penggugat mengetahui bahwa apa yang dimaksud dengan
“turut serta” dalam itu ialah dalam konteks “memberi kesempatan atau
setidak-tidaknya melakukan pembiaran” terhadap Romli sehingga dia leluasa
melakukan korupsi. Kalau Romli dilepaskan, yang berarti dia memang tidak
melakukan korupsi, maka pemberian kesempatan atau pembiaran apa yang Penggugat
berikan kepada Romli untuk melakukan korupsi;
20. Putusan kasasi Mahkamah Agung
dalam perkara Romli ini membuat Kejaksaan Agung seperti linglung dan kebingungan untuk
berbuat apa terhadap Penggugat. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan
yurisprudensi – sehingga sudah dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi tetap
— sejak zaman Hooge Raad Hindia Belanda hingga zaman Mahkamah Agung Republik
Indonesia di masa kini, yang menunjukkan bahwa kalau beberapa orang didakwa
secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka satu dibebaskan
(vrijspraak) atau dilepaskan (ontslag), maka yang lain harus dibebaskan atau
dilepaskan pula. Karena itu, pada hemat Penggugat, Kejaksaan Agung hanya
akan melakukan hal yang sia-sia jika terus ngotot ingin mendakwa
Penggugat ke pengadilan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan publik akan menilai
bahwa mendakwa Penggugat bukan lagi demi penegakan hukum, melainkan tindakan
balas dendam aparatur Kejaksan Agung akibat kekalahan mereka dalam perkara di
Mahkamah Konstitusi: pimpinan mereka, Jaksa Agung Hendarman Supandji yang
disebut oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, Dr. Marwan Effendi,
sebagai “Jaksa Agung Sah Dunia Akhirat”, ternyata dan terbukti jangankan di
akhirat, di atas dunia fana inipun yang bersangkutan dinyatakan oleh Mahkamah
Konstitusi sebagai Jaksa Agung yang illegal, sehingga Presiden terpaksa
memberhentikannya;
21. Bahwa kini tinggal
satu-satunya jalan bagi Kejaksaan Agung untuk mendakwa Penggugat, ialah
mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi Romli. Jika putusan PK
menghukumnya, maka terbuka kesempatan bagi Kejaksaan Agung untuk mendakwa
Penggugat. Sebaliknya, kalau permohonan PK Kejaksaan Agung ditolak, maka
tidak ada pilihan lain bagi Kejaksaan Agung kecuali menerbitkan SKP2 kepada
Penggugat. Namun patut disadari bahwa berdasarkan Pasal 263 KUHAP, tidak ada
hak apapun bagi Jaksa untuk melakukan PK. Pasal 263 KUHAP juga dengan
tegas mengatur bahwa terhadap putusan ”bebas” (vrijspraak) dan “lepas”
(ontslag) tidak boleh dilakukan upaya peninjauan kembali. Dalam praktik
peradilan – yang Penggugat tidak setuju dan kini sedang melawannya melalui
Mahkamah Konstitusi – dalam hal putusan “bebas” adakalanya PK yang diajukan
Jaksa diterima dengan alasan putusan itu bukan bebas murni (verkapte
vrijspraak) seperti dialami Muchtar Pakpahan, Sjahril Sabirin, Polycarpus dan
Joko Chandra. Namun hingga kini belum pernah ada PK yang diajukan Jaksa
terhadap putusan “lepas” karena memang tidak pernah ada praktik peradilan yang
membedakan antara “lepas murni” (zuijvers ontslag) dengan “lepas tidak murni”
(verkapte ontslag). Menurut Tergugat, Kejaksaan Agung yang dipimpinnya sedang
menelaah putusan Romli itu, entah sampai kapan;
22. Bahwa dengan status berkas
perkara yang sudah P-21, maka alasan Tergugat dalam Keputusan Tergugat a
quo yang menyatakan bahwa perlunya Penggugat dicegah adalah “dalam rangka
mendukung operasi Yustisi di tahap penyidikan” yang menjadi konsideran Keputusan
Tergugat a quo menjadi tidak beralasan. Kalaulah Penggugat hingga
kini perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan, atau belum dihentikan, karena
Kejaksaan Agung sedang menelaah putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara
Romli, maka hal itu sepenuhnya adalah urusan dan tanggungjawab Tergugat,
bukan urusan dan tanggungjawab Penggugat. Berapa lama lembaga yang
dipimpin Tergugat akan mengkaji putusan tersebut, apakah setahun atau sepuluh
tahun atau sampai datangnya hari kiamat, wallahu a’lam bissawwab, tidak
seorangpun yang mengetahuinya kecuali Tuhan Yang Maha Tahu. Namun tidaklah
beralasan karena Tergugat dan jajarannya tak kunjung selesai menelaah putusan
kasasi Mahkamah Agung itu, maka Penggugat yang dikenakan beban pencegahan
untuk bepergian ke luar negeri. Tergugat seharusnya mempertimbangkan segala
sesuatunya dari segala segi dan jika menggunakan kerangka berpikir yang jernih,
jujur, arif dan bijaksana, seharusnya Tergugat tidak sampai pada keputusan
mencegah Penggugat seperti itu. Adalah tidak adil dan tidak fair,
Tergugat dan jajarannya yang berlama-lama menelaah putusan kasasi Mahkamah
Agung dan tak kunjung selesai, ibarat lakon “Menunggu Godot” yang tak
kunjung datang seperti dikisahkan oleh novelis Samuel Backett, tetapi Penggugat
yang dijadikan korban dikenai pencegahan ke luar negeri. Keterlambatan Terugat
dan jajarannya dalam menelaah putusan kasasi Mahkamah Agung, yang sudah
berlangsung lebih dari 8 (delapan) bulan tak kunjung selesai, telah menyebabkan
“nasib” Penggugat terkatung-katung. Cara kerja birokrasi yang lamban seperti
ini menunjukkan cara kerja yang tidak efisien yang bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik;
23. Bahwa setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi No 65/PUU/MK/IX/2010 tanggal Agustus 2011 yang lalu,
yang mewajibkan Penyidik bawahan Tergugat untuk memanggil saksi-saksi
menguntungkan yang diminta oleh Penggugat, yakni memanggil Susilo Bambang
Yudhoyono, Megawati Sukarnoputri, Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie, Tergugat
kembali menyatakan kepada publik bahwa lembaga yang dipimpinnya sedang menelaah
putusan itu sebelum memutuskan apakah akan memanggil untuk diperiksa
saksi-saksi menguntungkan sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi atau tidak
dalam pemeriksaan tambahan perkara Penggugat. Bila menelaah putusan Mahkamah
Agung dalam perkara Romli saja sudah lebih 8 (delapan) bulan belum kunjung
selesai, maka akan berapa lama lagikah Tergugat dan jajarannya akan menelaah
putusan Mahkamah Konstitusi. Apakah menelaah putusan Mahkamah Konstitusi ini
nantinya juga akan menjadi “operasi yustisi di bidang penyidikan” sehingga
Penggugat akan kembali diperpanjang masa pencegahannya? Adanya ketidakpastian
seperti membawa implikasi diabaikannya asas kepastian hukum, akuntabilitas dan
profesionalitas yang merupakan prinsip-prinsip dalam asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Keputusan Tergugat a quodengan sadar telah
melanggar asas-asas ini;
24. Bahwa sedari awal, Penggugat
mencurigai dijadikannya Penggugat sebagai Tersangka dalam perkara dugaan
korupsi “Sisminbakum” di Departemen Kehakiman dan HAM mengandung motif politik
menjadikan Penggugat sebagai target kepentingan politik Pemerintah yang sedang
berkuasa. Baik Jaksa Agung Hendarman Supandji, Plt. Jaksa Agung Darmono maupun
Tergugat berulangkali membantah adanya motif politik dibalik perkara ini. Namun
Penggugat telah berulangkali pula meminta ketiganya untuk memberikan penjelasan
non-politis, tetapi murni yuridis, mengapa di antara 7 (tujuh) orang yang
menjadi Menteri Kehakiman dan HAM – belakangan berubah menjadi Menteri Hukum
dan HAM – hanya Penggugat satu-satunya yang dinyatakan sebagai Tersangka dalam
kasus “Sisminbakum”. Dalam dakwaan terhadap Yohannes Woworuntu maupun terhadap
Romli Atmasasmita dikatakan antara lain disebutkan mendakwa Yohanes Woworuntu
bersama-sama dengan sejumlah orang, serta “Yusril Ihza Mahendra Menteri
Kehakiman dan HAM” melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama dari
tahun 2000 sampai 5 November 2008. Penggugat menjadi menteri Kehakiman dua
kali, yakni 24 Oktober 1999 sampai 7 Pebruari 2001 dan kemudian dari tanggal 10
Agustus 2001 sampai 20 Oktober 2004. Penggugat tidak pernah menjadi Menteri
Kehakiman dan HAM sampai tahun 2008 seperti disebutkan Penuntut Umum dalam
dakwaannya;
25. Bahwa dalam kurun waktu
2000-2008 ada tujuh orang menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, yakni Penggugat,
Baharuddin Lopa, Marsillam Simandjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin dan Andi
Mattalata, yang semuanya menjalankan kebijakan “Sisminbakum” yang sama dengan
apa yang Penggugat jalankan, tetapi mengapa mereka tidak dinyatakan sebagai
Tersangka? Zulkarnaen Yunus dan Samsudin Manan Sinaga didakwa ke pengadilan
dengan dakwaan “meneruskan kebijakan Romli sebagai Dirjen sebelumnya” dan
dihukum bersalah. Nah, kalau kalau kedua orang ini didakwa karena meneruskan
kebijakan Romli, maka bukankah seharusnya Baharuddin Lopa, Marsillam
Simanjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata, semuanya juga harus
didakwa karena mereka meneruskan kebijakan Pengggugat? Pertanyaan logis seperti
ini tidak pernah mampu dijawab Pimpinan Kejaksaan Agung, sejak zaman Hendarman
Supandji sampai Basrief Arif, meskipun mereka berulangkali menyatakan tidak ada
motif politik di balik kasus Sisminbakum. Bahkan belakangan, Sisminbakum yang
sama yang dilaksanakan pada masa Penggugat menjadi Menteri Kehakiman dan HAM
tahun 2000 itu, diperkuat pemberlakukannya dengan undang-undang, yakni Pasal 9
Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini
dibuat atas persetujuan bersama Prsiden dan DPR. Kalau memang Sisminbakum itu korupsi
sebagaimana dikatakan Kejaksaan Agung, mestinya mereka menjadikan Presiden SBY
dan seluruh anggota DPR yang mensahkan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 itu
dijadikan tersengka semua. Ini semua menunjukkan bahwa Penggugat memang sengaja
dijadikan sebagai target politik untuk dilumpuhkan dengan cara
merekayasa kasus “Sisminbakum” ini mulai awal Oktober 2008. Dua
bulan sebelumnya, Agustus 2008, Penggugat mencalonkan diri sebagai Presiden RI.
Dokumen Wikileaks yang tersebar ke seluruh dunia secara terbuka
menyebutkan bahwa Presiden SBY telah memerintahkan Kepala Badan Intelejen
Negara untuk “memata-matai” Penggugat karena dianggap sebagai “rival
politiknya”. Penggugat telah menkorfirmasikan hal ini kepada Samsir Siregar,
mantan Kepala BIN dan dia membenarkannya. Adanya berbagai tekanan politik
terhadap institusi yang dipimpin Tergugat, termasuk tekanan perpanjangan
pencegahan, menunjukkan Keputusan Tergugat a quo diterbitkan
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni keputusan yang
tidak professional;
26. Bahwa sementara itu,
sebagaimana telah Penggugat uraikan dalam point-point di atas, pemeriksaan
perkara Penggugat terus menggantung sejak Oktober 2008 ketika Penggugat
diperiksa sebagai saksi, apalagi setelah dinyatakan sebagai terdakwa,
telah menjadi berita-berita besar media yang memuat keterangan baik
Pimpinan maupun Pejabat Eselon II Kejaksaan Agung. Pernyataan-pernyataan
pers yang dibuat oleh Pimpinan dan Pejabat Eselon II Kejaksaan Agung ini telah
menjadi bagian dari propaganda politik yang menyudutkan dan membunuh karakter
Penggugat dengan menyampingkan asas praduga tak bersalah dan “due process of
law” yang fair dan adil. Oleh karena itu Keputusan Tergugat a quo, yang
mencegah Penggugat untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI, tidak lagi
didasarkan atas kepentingan “operasi Yustisi di bidang penyidikan” yang
nyata-nyata penyidikan sudah selesai, tetapi Tergugat sebagai pejabat tata
usaha negara telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang tersebut, yakni bermotifkan politik. Penyalahgunaan
wewenang dalam melakukan pencegahan adalah salah wujud cari cara kerja yang
tidak professional dan tidak memiliki akuntabilitas, yang merupakan salah
satu prinsip dari asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga menjadi
alasan agar Keputusan Tergugat a quodibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang No 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha
Negara;
27. Bahwa mencegah seseorang
warganegara meninggalkan wilayah negara RI pada dasarnya adalah melanggar hak
asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia PBB dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Undang-Undang
No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun Penggugat menyadari
bahwa hak konstitusional Penggugat untuk meninggalkan tanah air bukanlah
“non derogable rights” yang berlaku absolut, melainkan dapat dibatasi dengan
undang-undang, namun pelaksanaannya haruslah dilakukan dengan sungguh-sungguh
memperhatikan hak konstitusional (constitutional rights) Penggugat yang lain
yang juga dijamin oleh konstitusi, yakni hak mendapatkan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D UUD 1945.
Sementara Tergugat diberikan kewenangan oleh Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang No
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian untuk mencegah Penggugat meninggalkan wilayah
negara RI selama 6 (enam) bulan “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama
6 bulan” tanpa ada batas waktu berapa kali boleh melakukan perpanjangan. Ini
berarti bahwa Tergugat bisa saja mencegah Tergugat seumur hidup
asalkan diperpanjang setiap enam bulan oleh Tergugat, seperti dilakukan oleh
Pemerintah Orde Baru terhadap anggota Petisi 50. Potensi Tergugat untuk
melakukan pencegahan terhadap Penggugat tanpa batas waktu, menurut penalaran
yang wajar, sangat mungkin untuk terjadi. Hal ini dapat berakibat menghilangkan
hak konstitusional Penggugat untuk memperoleh jaminan perlindungan hukum dan
kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
28. Bahwa selain menyangkut
persoalan hak asasi manusia seperti dikemukakan di atas, faktor-faktor
subyektif yang melekat pada diri Penggugat seharusnya juga menjadi bahan
pertimbangan Tergugat untuk mengambil Keputusan pencegahan atau tidak
melakukannya terhadap Penggugat. Tidak semua Tersangka pelaku kejahatan
dikenakan pencegahan untuk meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI. Ada yang
dicegah, ada yang tidak. Penggugat tidaklah dapat disamakan dengan orang lain,
yang perlu dikhawatirkan akan kabur ke luar negeri dan tidak kembali ke tanah
air, seperti para tersangka kasus Bantuan Lukiditas Bank Indonesia (BLBI),
Nunun Nurbaeti atau mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Penggugat adalah persona yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Penggugat
adalah seorang Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, pernah menjadi
anggota DPR dan MPR, pernah dua kali menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, satu
kali menjadi Menteri Sekretaris Negara dan belasan kali menjadi Menteri Luar
Negeri dan Menteri Pertahanan Ad Interim, pernah menjadi calon sah Presiden RI
dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999, pemegang Bintang Bhayangkara Utama dari
Presiden RI mengingat jasa-jasanya dalam pembangunan kepolisian, pembangunan
hukum dan penegakan hukum, dan sekarang oleh berbagai komponen masyarakat
dicalonkan lagi sebagai Presiden RI tahun 2014. Faktor-faktor subyektif seperti
ini, sama-sekali tidak menjadi pertimbangan Tergugat. Padahal, jika
dipertimbangkan dengan proporsional, bijak dan akuntabel yang menjadi
prinsip dari asas-asas umum pemerintahan yang baik, seharusnya
Tergugat tidak sampai pada keputusan mencegah Penggugat untuk
meninggalkan wilayah Negara Kesatuan RI. Hal ini juga menjadi salah satu alasan
bagi Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan keputusan Tergugat a
quo, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c
Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tengang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-raian
sebagaimana telah dituangkan dalam Angka I, II dan III di atas, kini sampailah
Penggugat pada kesimpulan gugatan ini, sebagai berikut:
1. Obyek sengketa dalam gugatan ini
ialah Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No: Kep Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor : Kep- 201/D/Dsp.3/06/2011, tanggal 27
Juni 2011, Tentang Pencegahan Dalam Perkara Pidana, yang memenuhi kreteria
sebagai penetapan tertulis pejabat tata usaha negara, yang bersifat konkrit,
individual, final dan membawa akibat hukum, dan nyata-nyata telah merugikan
kepentingan Tergugat, baik moril maupun materil;
2. Penggugat tidak menempuh upaya
administratif (administratief beroep) melalui prisedur kebaratan atas Keputusan
Tergugat a quo, karena peraturan-peraturan pelaksana terkait dengan upaya
administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2011, hingga
gugatan ini diajukan belum diterbit
3. Keputusan Tergugat a
quo bukanlah keputusan yang dikecualikan dari pengertian keputusan pejabat
tata usaha negara menurut Undang-Undang No 9 Tahun 2004. Berdasarkan
Undang-Undang No 6 Tahun 2011 dan PP No 30 tahun 1994, Pengadilan Tata Usaha
Negara berwenang memeriksa dan memutus Keputusan Tergugat a quo;
4. Keputusan Tergugat a quo adalah
keputusan yang penuh kejanggalan baik dari segi formatnya maupun substansinya.
Judul Keputusan menggambarkan seolah-olah suatu keputusan yang berlaku umum.
Sistematika penempatan logika dan alur berpikir yang menggambarkan suatu
kesatuan pemikiran dalam pengambilan keputusan, tidak jelas. Konsiderans
menimbang, mengingat dan diktum keputusan tidak menunjukkan suatu sistematika
berpikir, sehingga Keputusan Tergugat a quo menggambarkan cara kerja
yang asal-asalan dan tidak professional sebagaimana layaknya lembaga penegak
hukum yang begitu tinggi kedudukannya dalam struktur pemerintahan negara;
5. Tanggal yang dicantumkan dalam
Keputusan Tergugat a quo adalah tanggal palsu. Pencantuman tanggal
palsu seperti itu tidaklah mampu menghindarkan Keputusan Tergugat a quo berlaku
secara retro-aktif, yang bertentangan bukan saja dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Pencantuman tanggal palsu itu juga membuktikan bahwa Keputusan
Tergugat a quo dibuat tanpa mengindahkan profesionalitas kerja dan
akuntabilitas;
6. Alasan Tergugat untuk mencegah
Penggugat keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka
operasi yustisi dibidang penyidikan, sehubungan dengan status Penggugat sebagai
Tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi adalah alasan yang tidak dapat
diterima. Berkas perkara Penggugat kini sudah lengkap atau P-21. Pemeriksaan
terhadap Tersangka sudah lama selesai, sehingga alasan operasi Yustisi di
bidang penyidikan tidak dapat dipertanggungjawabkan dan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7. Bahwa Tergugat tengah menelaah
putusan Mahkamah Agung dalam perkara Romli Atmasasmita yang tak kunjung
selesai, ditambah lagi dengan mengakaji putusan Mahkamah Konstitusi tentang
saksi yang menguntungkan, yang entah kapan akan selesai, semuanya adalah urusan
internal yang menjadi tanggungjawab Tergugat. Apa yang dilakukan Tergugat juga
bertentangan dengan KUHAP tentang asas peradilan yang cepat dan biaya murah.
Tidaklah adil dan tidak fair jika Tergugat terus mencegah Penggugat
karena urusan internal mereka sendiri. Ini menunjukkan cara kerja yang
tidak professional, tidak proporsional, tidak mempunya akuntabilitas dan tidak
menjamin kepastian hukum;
8. Pencegahan terhadap Penggugat
juga sarat dengan muatan politik dan tekanan politik. Padahal Kejaksaan Agung
adalah lembaga penegak hukum yang harus steril dari pengaruh dan tekanan
politik dari pihak manapun juga. Ketidakmampuan Tergugat membebaskan diri
dari pengaruh dan tekanan politik menunjukkan bahwa Keputusan Tergugat a
quo telah diambil secara tidak professional dan tidak memiliki
akuntabilitas;
9. Keputusan Tergugat a
quo, di dalam dirinya sendiri telah memuat hal-hal yang
menurut undang-undang dapat menjadi alasan yang sah untuk
membatalkannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu: (a) Keputusan Tergugat a quo bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) Keputusan Tergugat a
quo adalah sebuah keputusan yang dibuat secara tidak
professional, tidak mengindahkan tertib penyelenggaraan negara, tidak
menjamin kepastian hukum, tidak proporsional dan tidak memiliki akuntabilitas,
sehingga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang seharusnya
dijunjung tinggi oleh Tergugat.
V. PETITUM
Berdasarkan uraian-uraian dalam
angka I, II, III dan IV di atas, Penggugat memohon kepada Yang Mulia Majelis
Hakim yang memeriksa gugatan ini untuk memutuskan:
–
Menyatakan menerima gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
–
Menyatakan batal Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang Pencegahan
Dalam Perkara Pidana;
–
Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Tergugat Nomor:
Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang Pencegahan Dalam Perkara
Pidana;
Demikianlah gugatan ini. Atas kesediaan Yang Mulia Ketua dalam menindaklanjuti
gugatan ini, Penggugat ucapkan terima kasih.
Hormat Penggugat,
Prof Dr Yusril Ihza
Mahendra
Sumber: http://yusril.ihzamahendra.com/2011/08/21/gugatan-pembatalan-cekal-ke-ptun-jakarta/
Sumber: http://yusril.ihzamahendra.com/2011/08/21/gugatan-pembatalan-cekal-ke-ptun-jakarta/
No comments:
Post a Comment