Oleh Richo Andi Wibowo
Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada
Secara konseptual, pembagian wilayah antara hukum
administrasi dengan hukum perdata telah jelas. Pada fase awal pengadaan yang
lazimnya meliputi, namun tidak terbatas pada, mengundang tender; memberikan
penjelasan, menilai proposal masing-masing peserta pengadaan; menentukan
pemenang pengadaan dan mengumumkannya (termasuk didalamnya sanggah dan sanggah
banding) adalah wilayah hukum administrasi dan tunduk pada asas-asas hukum
tersebut, seperti asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Meskipun demikian, jika peserta tender merasa dirugikan atas
keputusan pemenang pengadaan, maka gugatan diajukan ke peradilan umum (dan
bukan peradilan administrasi (TUN). Implikasi dari hal ini adalah, dalam
memeriksa gugatan kasus pengadaan, peradilan umum tidak hanya menerapkan hukum perdata,
namun juga hukum publik termasuk AUPB. Sedikit berbeda dengan sebelumnya, jika
kontrak pengadaan sudah ditandatangani, lalu kontrak ini atau performa
pelaksanaan kontrak ini dipermasalahkan, maka selain kompetensi peradilannya
adalah peradilan umum, hukum yang berlaku adalah hukum kontrak (perdata) secara
penuh. Lalu dimana posisi hukum pidana? Secara konseptual, hukum pidana bisa
berada difase manapun, baik sebelum terjadinya kontrak, maupun setelah kontrak;
sepanjang memenuhi unsur-unsur delik. Namun, hemat penulis, hukum pidana tidak
serta merta dapat memasuki wilayah hukum perdata dan HAN, karena adanya
perbedaan standar pembuktian. sebagaimana uraian dibawah ini.
Konsep Perbedaan Standar Pembuktian Hukum Administrasi, Perdata, dan Pidana
Secara konseptual, derajat pembuktian di hukum pidana
dikenal dengan istilah “beyond reasonable doubt”, yang jika diterjemahkan
secara bebas berarti kesalahan terdakwa “memang meyakinkan”, dan oleh karenanya
layak mendapatkan hukuman pidana. Sedangkan, derajat pembuktian dalam hukum
perdata dan hukum administrasi, disebut dengan istilah “more likely than not
true” atau preponderance of evidence” yang menurut hemat penulis bisa
diterjemahkan sebagai “mana yang lebih tampak benar”.
Standar pembuktian untuk perkara pidana didesain lebih
tinggi daripada untuk perkara yang lain karena, mengutip Ronald Dworkin,
“keliru memvonis pidana orang yang tidak bersalah, lebih berbahaya secara moral
daripada keliru membebaskan orang yang bersalah”. Selanjutnya, Dworkin juga menjelaskan bahwa
“sistem hukum dapat dibenarkan untuk memenjarakan seseorang hanya jika sistem
ini memberikan perlindungan terbaik kepada orang tersebut dari resiko
kemungkinan vonis yang salah dan jika tidak ada mekanisme lain yang dapat
memberikan perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat” (selain dengan
memenjarakan orang tersebut).
Adalah benar bahwa terminologi diatas dijabarkan oleh
sarjana hokum di negara Anglo Saxon. Namun, konsep dimana standar pembuktian hokum
pidana lebih tinggi daripada hukum administrasi dan perdata adalah konsep yang
berlaku umum di negara manapun.
Sumber: https://ejournal.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php/jk/issue/download/31/61
No comments:
Post a Comment