Setya Budi Arijanta, Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP menjelaskan ihwal pembentukan LPSPBJP adalah semakin banyaknya sengketa dalam proses pengadaan barang dan jasa, baik itu sengketa sebelum kontrak maupun sengketa setelah kontrak. Dalam penanganan sengketa sebelum kontrak, sudah ada mekanisme yang disebut mekanisme sanggah, jika belum terselesaikan bisa dilanjutkan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Sementara itu, penyelesaian sengketa yang terjadi setelah penandatanganan kontrak dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu jalur pengadilan atau jalur di luar pengadilan. Untuk jalur pengadilan ada yang namanya banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Adapun untuk penyelesaian sengketa luar jalur pengadilan dilakukan dengan cara musyawarah, mediasi sampai arbitrase.
Praktik di lapangan menunjukkan kedua mekanisme tersebut (jalur pengadilan dan luar pengadilan) banyak sekali mendapat keluhan dari pihak-pihak yang bersengketa terkait mahalnya biaya dan lamanya waktu penyelesaian sengketa. Bahkan, tidak sedikit sengketa yang tidak dapat dieksekusi oleh BANI. Setya memberikan contoh pada sengketa kepemilikan TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang prosesnya sangat lama dan tak kunjung selesai, padahal di BANI putusannya sudah final. Berangkat dari banyaknya keluhan terkait mahalnya biaya dan lamanya proses penyelesaian sengketa, khususnya untuk sengketa kontrak pengadaan. LKPP pun berinisiatif membuat Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yaitu suatu mekanisme penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan maupun arbitrase yang pelaksanaannya tetap mengacu pada perundang-undangan.
Idealnya layanan ini berbentuk sebuah Badan. Namun, sementara ini masih dalam bentuk layanan yang dilakukan oleh direktorat BPH-LKPP. Adapun pelaksanaan layanan ini masih ditangani oleh Direktorat BPH-LKPP meskipun idealnya layanan ini berada di bawah kewenangan badan khusus. Layanan ini gratis dan SOP-nya lebih cepat dari pengadilan dan lebih cepat dari BANI. Tagline-nya lebih cepat, lebih murah dan bisa dieksekusi. Sebelum ada layanan ini, lanjut Setya, LKPP pun sudah sering menangani sengketa kontrak pengadaan meskipun belum memiliki hukum tetap. Dengan adanya layanan ini, LKPP bekerja sama dengan Mahkamah Agung (MA), sehingga putusannya bisa dilaporkan ke MA untuk selanjutnya dieksekusi. Tidak hanya sebatas itu saja, LKPP pun mendapat dukungan penuh dari MA berupa penyediaan tenaga pengadaan untuk pelatihan panitera. Pelaksanaan layanan ini, sebetulnya, ditujukan untuk mengurai perkara di bidang pengadaan yang masuk ke ranah pengadilan.
Hal ini sesuai dengan arah dan kebijakan Mahkamah Agung, yaitu pemutusan perkara secara cepat. Menurut Setya, ada beberapa masalah yang sering terjadi dalam sengketa kontrak pengadaan antara lain pemutusan kontrak, pemerintah yang tidak mau membayar, pemberian sanksi blacklist, aturan denda, serta pembayaran penyesuaian harga. Perlu digaris bawahi, layanan ini bukan hanya menyelesaikan sengketa, melainkan juga mencakup pemberian pendapat hukum, di mana proses ini tidak perlu sidang karena sifatnya hanya memberikan pendapat hukum. Layanan ini mulai di-launching pada Mei 2016. Ruang lingkup yang ditangani dalam layanan ini adalah jika sudah tanda tangan kontrak kemudian bersengketa. Menurut Setya, pada 2015 tercatat ada 5.030 kasus yang ditangani LKPP di luar advokasi dan konsultasi.
Layanan ini tidak sampai ke ranah tender, yang menurut Setya, masih banyak terjadi. Salah satu manfaat utama dari layanan ini adalah membantu pemerintah untuk menyelesaikan sengketa dengan gratis, cepat, dan bisa dieksekusi. Selain manfaat tersebut, layanan ini juga membantu penyedia dalam memberikan kepastian. Ada bebebarapa kasus ketika beberapa pihak bersikap tidak sportif. Meskipun kalah, mereka tetap tidak mau membayar. Setya juga mengungkapkan bahwa sempat timbul kekhawatiran kalau LKPP tidak bisa bersikap independen. Namun, hal tersebut terbantahkan oleh kinerja LKPP yang sampai saat ini masih dipercaya. “Kalau BPK salah, ya kita nyatakan salah.
Kalau penyedia salah, ya kita nyatakan salah,” ungkap Setya. Dia juga menambahkan, LKPP akan tetap bersikap netral meskipun program ini dibiayai dari APBN. “LKPP tidak membela pemerintah jika salah satu pihak yang bersengketa tersebut adalah pemerintah,” tegasnya. Salah satu prinsip yang dilakukan LKPP dalam menangani sengketa adalah bagaimana agar proyek yang sedang berjalan dan terkena kasus, tetap berjalan dan kontraknya tidak diberhentikan. Agar tetap netral, arbitrer dari layanan ini harus melalui proses seleksi terlebih dahulu, terdiri dari beberapa elemen, antara lain akademisi, LKPP, dan swasta. Syarat utamanya, mereka harus tahu dan paham tentang pengadaan. Menurut Setya, kelemahan di BANI dan PN adalah hakim, pengacara, dan jaksanya kurang memahami pengadaan sehingga proses persidangan berjalan lama dan terlalu banyak membahas hal-hal di luar konteks. “Kalau hakim, jaksa, dan pengacaranya paham mengenai pengadaan, paling lama sidang dilakukan 2 jam,” tutur Setya.
Dalam satu kasus penyelesaian cepat, arbitrer (hakim) ditentukan oleh kedua belah pihak (pihak tergugat dan pihak penggugat) dan LKPP. Jadi, total ada tiga hakim. Hal ini mengacu ke BANI, tapi bedanya kalau di LKPP semua biaya operasional selama penyelesaian sengketa dibiayai oleh LKPP, sedangkan di BANI pihak-pihak yang bersengketa harus membayar sendiri! Tentu saja hal ini memberatkan mereka (pihak yang bersengketa yang tidak memiliki banyak uang. Keluhan seperti ini juga datang dari BPK karena pemerintah (dalam hal ini BPK) tidak memiliki banyak anggaran ketika harus membayar sengketa di BANI.
Menurut data LKPP tahun 2015, dari sekian banyak sengketa pengadaan barang dan jasa yang ada, hanya 10% kasus yang diperkarakan. Padahal, tercatat ada sekitar 1.620 kasus sanggahan, 1.510 pengaduan, 777 sengketa pelaksanaan kontrak, dan 251 kasus daftar hitam. Jumlah tersebut sangatlah besar dan disinyalir akan menyusahkan BPS PBJP dalam menangani kasus-kasus yang ada. Tentu saja hal ini perlu diantisipasi dengan mekanisme penanganan kasus yang tepat dan efisien. Salah satu mekanisme yang dilakukan untuk mengantisipasinya adalah dengan membuat skema pemeriksaaan yang dilakukan di tiap-tiap daerah dan provinsi, tidak dilakukan di pusat (Jakarta), dari LKPP yang mobile ke tiap provinsi tersebut.
Begitupun dengan proses persidangan, dilakukan di daerah tempat berlangsungnya sengketa. “Jika terdapat sengketa pengadaan di Medan, proses pemeriksaan dan persidangannya pun dilakukan di Medan,” papar Setya memberikan contoh. Untuk mengurangi kasus, LKPP memberikan peran kepada Direktorat Advokasi Wilayah I dan 2. Mereka berperan sebagai mediator dalam proses mediasi. “Jika bisa diselesaikan dalam proses mediasi, sengketa tersebut tidak perlu diteruskan ke LKPP, kecuali untuk kasus-kasus sengketa yang sifatnya multitafsir dan benar-benar harus diteliti,” lanjut Setya.
Begitupun dengan kasus- kasus sederhana, cukup dilakukan dengan sistem pemutusan perkara cepat. Korespondensi antara pihak penggugat dan tergugat bisa dilakukan melalui sistem online yang sudah disiapkan oleh LKPP. Jadi mereka cukup teleconference saja tanpa harus bertemu face to face,” tutur Setya. Kegiatan konsultasi pun bisa dilakukan via email surat (pos/ faks.) bahkan SMS dan telepon. Setya juga mengakui kalau dirinya sering menerima SMS maupun telepon dari pihak-pihak yang bersengketa hanya untuk konsultasi. Bahkan, lanjut Setya, LKPP pun sering kali menyelenggarakan bimbingan teknis di daerah berdasarkan permintaan dan usulan K/L/D/I. Indonesia memiliki 34 pemerintah provinsi, 412 pemerintah kabupaten, 93 pemerintah kota, 34 kementerian, 30 lembaga non-kementerian, 119 BUMN, dan 9 lembaga negara.
Semuanya secara teknis harus tunduk pada peraturan yang dibuat LKPP dalam hal pengadaan barang/jasa pemerintah. Tentunya hal ini menuntut LKPP dalam hal kesiapan, baik SDM maupun struktur serta fondasi hukumnya. Untuk menyikapi masalah ini, LKPP menerapkan Crowd Management System dengan memanfaatkan semua stakeholder untuk membantu LKPP. Caranya adalah dengan menyeleksi pendamping lelang yang bisa diambil dari unsur mana saja (PNS, pegawai Pemda, pegawai BUMN, atau swasta) asalkan memenuhi kompetensi sebagai pendamping untuk mendukung LKPP. “Jadi LKPP tidak usah merekrut pegawai baru. Dengan crowd management system akan lahir pendamping-pendamping yang mendukung LKPP, dan mereka menerima honor dari pekerjaannya sebagai pendamping tersebut.” tutur Setya. Setelah dinyatakan lulus seleksi kompetensi, mereka akan di-training untuk peningkatan kapasitas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa LKPP harus me- nyikapi permintaan konsultasi dan pendampingan dari ULP, LPSE, dan PPK se-Indonesia yang menyandarkan harapannya kepada LKPP agar mereka tidak terjerat masalah hukum ataupun tertimpa kriminalisasi pengadaan. Hal ini tentu saja harus disikapi dengan bijak dan tepat oleh LKPP agar pelayanan yang diberikan bisa berjalan dengan baik dan sesuai harapan dari semua pihak. Dengan adanya agen-agen di daerah-daerah, mereka bisa melakukankonsultasi tanpaharus ke LKPP melainkan cukup melalui agen-agen di daerah-daerah tersebut. Adanya database tanya-jawab kasus juga cukup membantu menyelesaikan permasalahan ini. “Database ini berguna untuk melihat apakah kasus serupa pernah ada sebelumnya.
Jika pernah ada, apa solusinya, kalau tidak ada di database, baru bisa tanya ke agen kita. Kalau masih belum puas dengan agen, baru bisa tanya ke kita.” papar Setya. Di akhir keterangannya, Setya menyampaikan meskipun sistem layanan dari LKPP ini murah dan cepat, tetap saja berperkara dan bersengketa itu menguras energi. Seumpama memperebutkan kambing, tapi biayanya sebesar sapi. Jadi yang paling aman, ya jangan sampai bermasalah.
Setya Budi Arijanta
Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP
Sumber: Majalah Kredibel LKPP
No comments:
Post a Comment