(Oleh: Muhammad
Adiguna Bimasakti. SH[1])
Pertanyaan yang paling mendasar
mengenai tindakan pemerintahan (bestuur handelingen) adalah mengenai batasan
ranah hukum atas tindakan pemerintahan. Kapankah dapat dikatakan pemerintah
melakukan tindakan dalam hukum administrasi dan kapan ia dikatakan melakukan
tindakan dalam hukum keperdataan (rechtshandeling naar burgerlijk recht). Hal
ini berkaitan dengan tindakan pemerintahan tersebut tunduk kepada ranah hukum
yang mana, serta kompetensi absolut peradilan yang berwenang mengadili
sengketanya. Penulis dalam hal ini mencoba untuk melihatnya dari segi hak serta
kewenangan, dan pembagian tindakan administrasi secara doktrinal.
1. Pemisahan Segi Hak Keperdataan (Recht) Dan Segi Kewenangan
(Bevogheid) Pemerintahan
Berdasarkan teori hukum yang
berkembang saat ini, dapat dibedakan antara “wewenang” sebagai landasan suatu
subjek hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasar hukum publik, serta “hak”
sebagai landasan suatu subjek hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasar
hukum perdata. Hadjon membaginya menjadi “kewenangan” dan “kecakapan”
(bekwaamheid)[2] sedangkan penulis lebih suka melihatnya sebagai
pendekatan “hak” bukan “kecakapan”. Kewenangan diperoleh berdasarkan
peraturan-peraturan di dalam hukum publik. Penyebutannya pun spesifik sebagai
suatu kewenangan tertentu yang diberikan untuk badan/pejabat pemerintahan
tertentu. Sedangkan hak diperoleh berdasarkan peraturan-peraturan di dalam
hukum keperdataan. Penyebutannya pun spesifik sebagai suatu hak tertentu yang
diberikan untuk subjek hukum tertentu.
Kewenangan (bevogheid) diberikan
dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan (bestuurzorg) untuk
kepentingan pelayanan administrasi pemerintahan. Sedangkan hak (recht)
diberikan dalam rangka menikmati kebendaan atau menikmati hal keperdataan
tertentu. Oleh karena itu jelas dalam hal ini ketika pemerintah bertindak dalam
rangka mempertahankan hak-haknya maka ia tunduk pada hukum keperdataan dan
menjadi subjek pada hukum perdata. Namun jika ia bertindak atas nama kewenangan
maka ia tunduk pada hukum publik dan menjadi subjek pada hukum administrasi.
Menurut indroharto, ketika
pemerintah sedang mempertahankan hak-haknya maka ia sedang berlaku sebagai
badan hukum perdata, bukan lagi sebagai badan hukum publik. Sebagai contoh,
dalam hukum pertanahan ia dapat memiliki hak atas tanah seperti hak pengelolaan
(hpl – videpasal 67 ayat (1) peraturan menteri agraria no. 9 tahun 1999 tentang
tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan
jo. Pasal 2 undang-undang pengaturan pokok agraria no. 5 tahun 1960).
Berikut penjelasan dari
indroharto mengenai status badan pemerintah sebagai badan hukum publik
sekaligus sebagai badan hukum perdata:
Dalam kenyataan sehari-hari kita
lihat bahwa pemerintahan umum itu terdiri dari berbagai macam organisasi dan
instansi-instansi, yang kebanyakan organisasi-organisasi demikian itu selain
memiliki wewenang pemerintahan menurut hukum publik juga memiliki kemandirian
menurut hukum perdata (dual function), seperti badan-badan teritorial : negara,
propinsi, kabupaten dan sebagainya. Akibat dari kedudukannya sebagai badan
hukum perdata tersebut adalah:
1. Ia
dapat memiliki hak-hak keperdataan;
2. Ia
dapat menjadi pihak dalam proses perdata.[3]
Oleh karenanya dapat disimpulkan
badan pemerintahan dapat menjadi badan hukum perdata dan melakukan tindakan
hukum perdata ketika mendudukkan dirinya sebagai pihak yang melindungi hak
keperdataannya.
2. Segi Tindakan Pemerintahan (Bestuur Handelingen)
Tindakan pemerintahan dapat
dibagi menjadi dua bentuk yakni tindakan faktual (feitelijk handelingen) dan
tindakan hukum (rechtshandelingen). Berikut adalah pembagiannya:
- Feitelijk handelingen (biasa disebut tindakan material[4], atau tindakan faktual / perbuatan konkret –vide pasal 1 angka 8 jo. Pasal 87 uu administrasi pemerintahan). Tindakan faktual (feitelijk handelingen) akan selalu bersegi satu (eenzijdige) karena bersifat sepihak saja; dan
- Rechtshandelingen (tindakan hukum). Tindakan hukum (rechtshandelingen) inilah yang secara teori memiliki implikasi hukum secara administrasi. Tindakan hukum (rechtsandelingen) ini ada yang bersegi satu (eenzijdige) karena bersifat sepihak saja, dan ada yang bersegi dua (tweezijdige atau meerzijdige).
Tindakan hukum pemerintahan
(rechtshandelingen) dapat dibagi menjadi :
- Tindakan hukum administrasi pemerintahan bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijk handelingen);
- Tindakan hukum administrasi pemerintahan bersegi dua (tweezijdige atau meerzijdige publiekrechtelijk handelingen).
Sedangkan tindakan faktual
(feitelijk handelingen) akan selalu bersegi satu (eenzijdige) karena bersifat
sepihak saja. Skema tindakan pemerintahan dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar skema tindakan pemerintahan[5]
Feitelijk handelingen (tindakan faktual)
Tindakan faktual (istilah yang
akan digunakan seterusnya) merupakan tindakan nyata atau fisik yang dilakukan
oleh pemerintahan. Tindakan ini tidak hanya terbatas pada tindakan aktif saja
namun juga perbuatan pasif. Yang dimaksud perbuatan pasif dalam hal ini adalah
pendiaman akan sesuatu hal. Contoh dari perbuatan aktif dari tindakan faktual
adalah pembangunan gedung pemerintahan. Sedangkan contoh pendiaman / perbuatan
pasif adalah membiarkan jalan rusak. Untuk tindakan faktual yang bersifat aktif
ia biasanya selalu didahului oleh penetapan tertulis, sedangkan untuk perbuatan
pasif tidak. Tindakan faktual (feitelijk handelingen) akan selalu bersegi satu
(eenzijdige) karena bersifat sepihak saja. Oleh karenanya segala jenis
feitelijk handelingen masuk ke dalam ranah hukum publik.
Rechtshandelingen (tindakan hukum)
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa tindakan hukum ini ada yang bersegi satu (eenzijdige) dan ada
yang bersegi dua (tweezijdigeatau banyak meerzijdige). Indroharto menyatakan
bahwa bestuur handelingen atau tindakan administrasi pemerintahan haruslah
selalu bersifat sepihak dan bersegi satu[6] oleh karena yang masuk ke
dalam ranah hukum administrasi (tun) hanya tindakan hukum sepihak dan bersegi
satu. Sedangkan tindakan hukum yang bersegi dua maka masuk ke dalam perbuatan
hukum perdata (atau campuran publik-perdata).
Tindakan hukum bersegi satu (eenzijdige publiek rechtshandelingen)
Sesuai dengan tugas administrasi
yakni “mengatur” dan “mengurus”, maka bentuk dari tindakan administrasi
pemerintahan dapat berupa pengaturan (regeling, pseudo-wetgeving), atau
keputusan/penetapan (beschikking, plan). Setidaknya dalam terminologi
administrasi kontemporer kedua istilah inilah yang sering dibahas. Sebetulnya
secara umum, terminologi keputusan dalam doktrin administrasi klasik dapat
diartikan sebagai besluit atau beslissing (keputusan dalam arti luas).
Konsep besluit ini dalam terminologi hukum administrasi di indonesia pernah digunakan untuk keputusan termasuk keputusan presiden. Dahulu semua produk norma baik berbentuk regeling (pengaturan) maupun beschikking (penetapan) yang dibuat presiden adalah berbentuk “keputusan presiden” / keppres (sebagai besluit). Namun di masa sekarang terminologi keppres ini sudah disempitkan menjadi bentuk beschikking(keputusan/penetapan) saja, sedangkan untuk yang berbentuk peraturan disebut dengan “peraturan presiden” (perpres). Selain bentuk regeling (atau regering besluit) dan beschikking, adapula bentuk lainnya seperti pseudo wetgeving (perundangan semu -salah satunya adalah beleidsregel), concrete normgeving (norma jabaran), dan plan (rencana). Kesemuanya akan tunduk pada kaidah hukum publik karena secara karakteristik sepihak dan bersegi satu (eenzijdige).
Tindakan hukum bersegi dua (tweezijdige publiek rechtshandelingen)
Tindakan bersegi dua ini adalah
tindakan yang dibuat oleh pemerintah tidak sepihak, artinya melibatkan pihak
lain. Contoh konkret dari tindakan ini adalah kontrak antara pemerintah dengan
pihak swasta (warga masyarakat). Tindakan hukum bersegi dua inilah yang tunduk
dan masuk ke dalam ranah pengaturan hukum keperdataan yang tunduk pula pada
asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid). Bentuk-bentuk kontrak pemerintah
ini antara lain[7]:
- Kontrak biasa;
- Kontrak adhesi atau kontrak standar (dengan klausula baku);
- Kontrak mengenai wewenang yakni pemerintah mengadakan perjanjian untuk melimpahkan pelaksanaan tugas pemerintahan kepada pihak lain;
- Kontrak mengenai kebijaksanaan pemerintah (beleidsovereenkomst) yakni pemerintah memperjanjikan kewenangan diskresionernya (freies ermessen) kepada pihak lain.
- Kontrak pemerintah dengan swasta yang lainnya.
Sebagaimana telah dijelaskan di
muka bahwa pembedaan pengaturan ranah hukum untuk tiap-tiap tindakan pemerintah
ini juga berpengaruh kepada kompetensi peradilan untuk mengadili gugatan
terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Apabila tindakan itu lebih condong
kepada karakter atau sifat hukum keperdataan maka ia akan menjadi kompetensi
absolut peradilan umum. Sedangkan apabila tindakan itu lebih condong kepada
karakter atau sifat hukum administrasi maka ia akan menjadi kompetensi absolut
peradilan tata usaha negara. Hal ini dapat dicermati melalui ketentuan dalam
undang-undang administrasi pemerintahan, pada pasal 1 angka 18 jo. Pasal 85
ayat (1) dan (2):
Pasal 1
Pengadilan adalah
pengadilan tata usaha negara.
Pasal 85
(1) Pengajuan gugatan
sengketa administrasi pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum
tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya undang-undang ini dialihkan dan
diselesaikan oleh pengadilan.
(2) Pengajuan gugatan
sengketa administrasi pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum
dan sudah diperiksa, dengan berlakunya undang-undang ini tetap diselesaikan dan
diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Bahwa menurut ketentuan tersebut
sengketa administrasi pemerintahan merupakan ranah kewenangan/kompetensi
absolut dari peradilan tun. Pasal 1 angka 18 di atas membatasi bahwa segala sengketa
administrasi pemerintahan diadili ptun.
Saat ini masih banyak
sengketa-sengketa yang berdasarkan fundamentum petendi nya berkarakter sengketa
administrasi namun diadili di peradilan umum dengan alasan tidak dapat diadili
di ptun karena terhalang oleh pembatasan kewenangan ptun dalam uu peratun (uu
no. 5 tahun 1986 jo. Uu no. 9 tahun 2004 jo. Uu no. 51 tahun 2009). Di antara
sengketa-sengketa administrasi yang sampai saat ini masih ditangani oleh
peradilan umum adalah onrechtmatig overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh
pemerintah) dan citizen lawsuit (gugatan warga negara)[8]. Oleh karena itu
diharapkan di masa depan pembatasan mengenai tindakan pemerintah dalam hukum
administrasi dan dalam hukum perdata dari ini juga diiringi dengan konsistensi
kompetensi absolut peradilan umum dan peradilan tun dalam mengadili jenis
sengketa.
[1] Penulis adalah calon
hakim peradilan tata usaha negara pada PTUN Banjarmasin yang saat ini sedang
menjalani magang pada PTUN Makassar.
[2] Philipus M. Hadjon,
et.,al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadja Mada
University Press, 2008, hlm. 135.
[3] Indroharto, Usaha
Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku II Beracara Di
Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004, hlm. 44.
[4] Safri Nugraha, et.al.,
Hukum Administrasi Negara, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2007, hlm. 85.
[5] Diolah dari pendapat Van
Wijk Dan Konijnenbelt (1984) sebagaimana digambarkan oleh Indroharto (op.cit.
Hlm. 145) dan Hadjon et. Al. (loc. Cit.hlm. 311).
[6] Lebih lengkap lihat:
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara:
Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2004, hlm 147.
[7] Diolah dari Indroharto,
Ibid. Hlm. 111-137.
[8] Penulis sedang
menerbitkan buku mengenai Pergeseran Kompetensi Absolut Dan Hukum Acara Gugatan
Ood Di Peratun yang akan terbit dalam waktu dekat. Terkait dengan citizen
lawsuit penulis pernah membuat artikel yang telah dipublikasikan oleh ptun
banjarmasin di laman: http://www.ptun-banjarmasin.go.id/artikel/anomali-kompetensi-absolut-atas-gugatan-citizen-lawsuit-dalam-hukum-acara-indonesia.html
Sumber: http://ptun-makassar.go.id
No comments:
Post a Comment