Perbuatan melawan hukum, baik
perdata (onrechtmatige daad) maupun pidana (wederrechtelijke daad) adalah dua
konsep penting dalam wacana ilmu hukum (baca juga uraian serupa tentang bagian ini
dalam Shidarta, 2010: 65-84). Secara umum, terutama jika mengikuti arus besar (mainstream)
pemikiran hukum di Indonesia, kedua konsep ini mengalami divergensi dalam arah
pemafsirannya. Perbuatan melawan hukum perdata mengarah kepada pemaknaan yang
meluas (ekstensif), yakni dengan mengartikan hukum tidak sama dengan
undang-undang (wet). Jadi, onrechtmatig dibedakan pengertiannya
dengan onwetmatig. Momentum historis dari perluasan ini terjadi setelah
putusan Hoge Raad der Nederlanden tanggal 31 Januari 1919, yaitu
dalam kasus kasus Lindenbaum versus Cohen. Lain halnya dengan perbuatan melawan
hukum dalam lapangan pidana yang justru mengarah ke pemaknaan yang menyempit
(restriktif), yakni lebih mengarah kepada sifat melawan hukum formal (formele
wederrechtelijkheid). Apa yang disebut hukum lazimnya mengacu pada ketentuan
norma positif dalam sistem perundang-undangan pidana yang telah ada, tertulis,
dan berlaku sebelum perbuatan dilakukan. Pelanggaran terhadap syarat ini
merupakan pelanggaran serius terhadap asas legalitas. Jika terjadi divergensi
dalam kedua lapangan hukum itu, lalu bagaimana halnya dengan perbuatan melawan
hukum di dalam lapangan hukum lingkungan? Hal ini menarik untuk ditanyakan
karena ranah hukum lingkungan tidak sepenuhnya dapat dimasukkan ke dalam
kriteria hukum perdata dan hukum pidana. Dengan mengutip Drupsteen, Koesnadi
Hardjasoemantri (1999: 38) mengatakan hukum lingkungan (millieurecht) adalah
hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk millieu) dalam arti
seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang
lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian, hukum lingkungan merupakan
instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan
lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian
besar terdiri dari hukum pemerintahan (bestuursrecht). Dalam tulisan ini,
perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum lingkungan itu diberi nomenklatur
“perbuatan melawan hukum lingkungan”.
Dasar pijakan dari perbuatan melawan
hukum perdata adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Indonesia),
yang secara historis memiliki kesamaan makna dengan Pasal 1401 Burgerlijk
Wetboek (lama) Negeri Belanda. Menurut L.C. Hoffmann, dari bunyi Pasal
1401 ini dapat diturunkan setidaknya empat unsur, yaitu: (1) harus ada yang
melakukan perbuatan, (2) perbuatan itu harus melawan hukum, (3) perbuatan itu
harus menimbulkan kerugian pada orang lain, dan (4) perbuatan itu karena
kesalahan yang dapat dicelakakan kepadanya. Mariam Darus Badrulzaman memerinci
perbuatan melawan hukum ini menjadi lima unsur, yakni: (1) harus ada perbuatan
(baik positif maupun negatif), (2) perbuatan itu harus melawan hukum, (3) ada
kerugian, (4) ada hubungan sebag akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan
kerugian, dan (5) ada kesalahan (Agustina, 2003: 49-50).
Sejak arrest kasus
Lindenbaum-Cohen tanggal 31 Januari 1919, pemaknaan perbuatan melawan hukum di
lapangan hukum keperdataan setidaknya dapat dihubungkan dengan empat hal, yaitu
perbuatan itu harus: (1) melanggar hak orang lain; (2) bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku, atau; (3) bertentangan dengan kesusilaan yang baik,
atau; (4) bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap
diri atau barang orang lain. Pemaknaan yang muncul dari putusan tersebut
merupakan terobosan penting setelah beberapa putusan sebelumnya cenderung masih
mempersempit makna “hukum” sama seperti makna “undang-undang”, misalnya dalam
putusan kasus mesin jahit Singer (1905) dan kasus pipa air ledeng kota Zutphen
(1910). Jika diterapkan ke dalam hukum lingkungan, ada beberapa persoalan yang
perlu diberikan catatan (bandingkan juga dengan Setiawan, 1991: 8-15).
Pertama, pengertian melanggar hak
orang lain di sini mencakup area denotasi yang luas. Orang tersebut tidak harus
subjek yang bertempat tinggal di lokasi yang terkena dampak langsung pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup. Orang ini dapat terdiri dari mereka yang
dirugikan secara idealisme, misalnya para aktivis lembaga swadaya masyarakat di
bidang lingkungan. Dalam kasus gugatan terhadap PT Inti Indorayon Utama (1988),
misalnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebagai penggugat adalah
lembaga swadaya masyarakat yang tidak berdomisili di kawasan Sumatera Utara,
tetapi oleh hukum ia dimasukkan ke dalam kategori subjek hukum lingkungan yang
ikut dilanggar kepentingannya. Catatan di atas berkorelasi dengan asas penting
dalam hukum acara, yaitu point d’intérêt, point d’action (siapa yang
berkepentingan, dia memiliki ius standi untuk beracara).
Kedua, pengertian bertentangan
dengan kewajiban hukum dari si pelaku adalah kewajiban menurut undang-undang.
Penafsiran demikian karena rumusan Hoge Raad tentang pengertian perbuatan
melawan hukum tahun 1919 itu menjiplak secara harafiah rancangan undang-undang
tahun 1913. Kata “undang-undang” di sini meliputi undang-undang dalam arti
material, termasuk peraturan perundang-undangan pidana. Ini berarti seseorang
yang melakukan pelanggaran pidana karena mencuri atau menipu, di samping dapat
dituntut secara pidana, dimungkinkan pula karena kerugian yang ditimbulkannya
untuk digugat secara perdata.
Ketiga, pengertian bertentangan
dengan kesusilaan yang baik dan kepatutan dapat dianggap sebagai perluasan yang
penting dari penafsiran perbuatan melawan hukum. Kedua batasan tersebut memang
dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari satu komunitas ke komunitas
lainnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan yang bertentangan dengan
kepatutan sudah dengan sendirinya bertentangan dengan kesusilaan. Apa yang
dikenal sebagai “bertentangan dengan kepatutan” adalah jika: (1) perbuatan
tersebut sangat merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak, dan (2)
perbuatan itu tidak berguna atau menimbulkan bahaya bagi orang lain. Perbuatan
penyalahgunaan hak (misbruik van recht) yang terjadi dalam kasus terkenal
“cerobong asap palsu” yang diputus oleh Pengadilan Colmar tanggal 2 Mei 1855,
membuktikan bahwa perbuatan yang sia-sia dan merugikan orang lain, adalah juga
pelanggaran hukum.
Ada hal yang menarik untuk
membedakan antara ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 1366 KUH Perdata.
Secara redaksional ketentuan Pasal 1365 menggunakan kata-kata “karena salahnya”
(schuld) yang berbeda dengan bunyi Pasal 1366 yang berbunyi “karena kelalaian
atau ketidakhati-hatian” (nalatigheid; onvoorzichtigheid). Kata “melawan hukum”
mengandung arti baik tindakan aktif maupun pasif. C. Asser (1991) juga
menekankan tentang hal ini. Menurutnya, jika Pasal 1365 KUHPer menekankan pada
perbuatan aktif, maka Pasal 1366 menekankan pada aspek pembiaran (tidak
berbuat).
Kedua pasal ini konon diinspirasi
oleh pembedaan yang lazim dianut dalam hukum pidana, yaitu kesengajaan dan
kelalaian. Dengan demikian, segala perbuatan yang disebabkan oleh kesengajaan
maupun kelalaian atau ketidakhati-hatian, dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum, sepanjang perbuatan itu salah (melanggar hukum dalam arti luas),
dan oleh karena itu si pelakunya layak diberikan beban untuk mengganti
kerugian.
Konsep perbuatan melawan hukum
dalam lingkup hukum (perdata) di dalam keluarga sistem civil law memiliki
persamaan dan perbedaan dengan konsep tort yang dikenal dalam
keluarga sistem common law (dikutip dari Agustina, 2003: 160-171).
Unsur
|
Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
|
Tort
|
Melawan hukum
|
PERSAMAAN
|
|
PERBEDAAN
|
PERBEDAAN
|
|
Kesalahan (schuld)
|
PERSAMAAN
|
|
PERBEDAAN: Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Indonesia) masih memerlukan adanya unsur
kesalahan yang harus dibuktikan yang juga diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata.
|
PERBEDAAN: Seseorang dapat saja
dipertanggungjawabkan terhadap kerugian yang timbul tanpa perlu dibuktikan
adanya unsur kesalahan, seperti dalam konsep strict liability. Jadi
tidak perlu diperhatikan apakah seseorang berbuat dengan sengaja atau lalai.
Konsep ini digunakan di Indonesia untuk perkara pencemaran lingkungan.
|
|
Kerugian
|
PERSAMAAN:
|
|
PERBEDAAN:
|
PERBEDAAN:
|
|
Kausalitas
|
PERSAMAAN: Perbuatan dan akibat
(kerugian) harus berhubungan langsung/seimbang dan dapat
diperhitungkan/diperkirakan secara layak.
|
|
PERBEDAAN: Unsur maksud buruk
ini wajib dicantumkan untuk gugatan karena penghinaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 1376 dan 1377 ayat (2) KUH Perdata.
|
PERBEDAAN: Unsur maksud buruk (malice)
tidak dipertimbangkan, namun dalam torttertentu hal ini perlu dibuktikan
agar gugatan dapat berhasil, seperti dalam deceit, malicious prosecution
nuisance, conspiracy, dan injurious falsehood dan defamation.
|
Jika diperhatikan, dalam tabel di atas sebenarnya ada banyak aspek dalam perbuatan melawan hukum dan tort yang dapat diharmonisasikan, sehingga hak-hak warga sipil untuk mempertahankan kepentingan mereka tidak terkendala hanya karena perbedaan sistem hukum. Sebagai contoh, seorang warga negara Malaysia atau Singapura yang mendapati cuacana berkabut di tempat tinggalnya akibat “kiriman asap” dari Indonesia, dapat saja mengajukan gugatan terhadap perusahaan-perusahaan yang terdata sebagai pelaku pembakaran lahan. Pada kasus lain, nelayan-nelayan tradisional Indonesia dapat pula mengajukan gugatan terhadap armada kapal (misalnya kapal pesiar) yang melakukan pencemaran dan polutannya terbawa arus masuk ke dalam perairan tempat mereka biasa menangkap ikan.
Di antara unsur-unsur perbuatan
melawan hukum dan tort yang sekilas diutarakan di atas, tampaknya
aspek kerugian menjadi perihal yang cukup berat untuk dibuktikan. Dampak
kerugian bersifat material dalam skala besar memang dapat dihitung, seperti
tertundanya jadwal penerbangan atau hilangnya sumber daya hutan, namun bagi
warga sipil kebanyakan, kerugian material yang besar-besar ini kerap harus rela
dinafikan karena mereka akan menggantungkan inisiasi gugatannya pada otoritas
negara. Apakah misalnya tidak mungkin warga sipil biasa di Singapura menggugat
atas dasar kerugian mereka karena turunnya kualitas udara yang mereka hirup
selama kabut asap melanda negaranya? Sekilas hal ini terdengar cukup masuk
akal, namun pihak Indonesia pun dapat saja berkilah bahwa kerugian yang
berlangsung dalam hitungan harian tersebut tidak ada artinya dibandingkan
dengan suplai oksigen dari hutan-hutan Indonesia yang dinikmati oleh warga
Singapura dari waktu ke waktu. (***)
BAHAN BACAAN:
Agustina, Rosa. 2003. Perbuatan
Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Asser, C. 1991. Pengajian
Hukum Perdata Belanda. Terjemahan Sulaiman Binol. Jakarta: Dian Rakyat.
Hardjasoemantri, Koesnadi.
1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pannett, A.J. 1992. Law of
Torts. London: Pitman Publishing.
Setiawan, Rachmat. 1991. Tinjauan
Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta.
Shidarta. 2010. ”Perbuatan
Melawan Hukum Lingkungan: Penafsiran Ekstensif dan Doktrin Injuria
Sine
Damno.” Jurnal Yudisial. Vol. III/No. 01/April/2010. Hlm. 65-84.
Zweigert, Konrad & Hein Kötz.
1987. An Introduction to Comparative Law. Vol. I-The Framework. Ed. 2.
Oxford: Clarendon Press.
Sumber: https://business-law.binus.ac.id
will the penalty be increased?
ReplyDelete