Hukum acara perdata yang berlaku saat ini sudah digunakan sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Sejarah hukum acara perdata ini didasari dengan beslit dari Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada tanggal 5 Desember 1846 Nomor 3, yang menugaskan Mr. H.L. Wichers selaku Presiden hoogerechtshoff (ketua pengadilan tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda di Batavia) untuk merancang sebuah reglemen tentang administrasi polisi dan acara perdata serta acara pidana bagi pengadilan yang diperuntukkan bagi golongan bumuputra.
Setelah rancangan reglemen dan penjelasannya rampung, pada tanggal 6 Agustus 1847 rancangan tersebut disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, selanjutnya gubernur jenderal mengajukan beberapa keberatan. Setelah dilakukan perubahan dan penyempurnaan, baik isi maupun susunan dan redaksinya sehingga dapat diterima oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, kemudian diumumkan dengan publikasi pada tanggal 5 April 1848 St. 1848-16 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 denhgan sebutan yang lazim disingkat Inlandsch reglement (IR). IR ini kemudian disahkan dan dikuatkan oleh Pemerintah Belanda dengan firman raja pada tanggal 29 September 1849 N. 93 Stb. 1849.
Selama hampir seratus tahun semenjak berlakunya, IR ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktik peradilan. Perubahan dan penambahan yang paling mendalam dilakukan sejak tahun 1926 sampai tahun 1941 terutama menyangkut acara pidananya, selanjutnya perubahan tersebut diundangkan kembali dengan Stb. 1941-32 jo. 98. Dalam Stb. 1941-32 ini sebutan Inlandsch Reglement (IR) diganti dengan sebutan Het Herziene Indonesisch Reglement yang disingkat dengan HIR.
HIR ini berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura. Untuk melangkapi hal tersebut selanjutnya pada tahun 1927 gubernur jenderal Hindia Belanda mengumumkan sebuah reglement hukum acara perdata untuk daerah seberang (luar jawa dan Madura) dengan Stb. 1927-227 dengan sebutan Rechtsreglement voor de Buitengewesten yang disingkat dengan RBg. RBg ini berisi ketentuan yang sudah ada dalam IR ditambah ketentuan hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku dikalangan orang-orang luar jawa dan Madura.
Setelah penyerahan kekuasaan oleh Pemerintah Belanda kepada Balatentara Dai Nippon pada Maret 1942, Balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-Undang 1942-1 yang intinya masih mengakui dan menyatakan sah undang-undang dari pemerintah terdahulu untuk sementara waktu asal tidak bertentangan dengan pemerintah militer.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, HIR dan RBg masih tetap berlaku sebagai peraturan hukum acara di muka pengadilan negeri untuk semua warga Negara Indonesia. Hal ini didasarkan pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV UUD RI tertanggal 18 Agustus 1945 jo PP 1945-2 tertanggal 10 Oktober 1945.
Sumber: Diskusi 1 Mata Kuliah Hukum Acara Perdata.
No comments:
Post a Comment