Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda dalam Putusan Nomor: 38/G/2019/PTUN.SMD tanggal 14 November 2019 sudah membuat suatu terobosan terkait kompetensi absolut PTUN dengan menolak eksepsi dari Pejabat TUN yang menjadi tergugat yang mendalilkan bahwa PTUN tidak berwenang mengadili perkara tender.
Pejabat TUN (tergugat) tersebut menjadikan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai dasar menolak kewenangan PTUN untuk mengadili perkara tender, yaitu Putusan Nomor 252 K/TUN/2000 tanggal 13 November 2000 yang menggariskan
kaidah hukum bahwa segala Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan dalam
rangka untuk menimbulkan perjanjian maupun diterbitkan dalam kaitannya dengan
pelaksanaan isi bunyi perjanjian itu, ataupun menunjuk pada suatu ketentuan
dalam perjanjian (kontrak) yang menjadi dasar hubungan hukum antara kedua belah
pihak, haruslah “dianggap melebur (oplossing) kedalam hukum perdata”.
Selain Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 252 K/TUN/2000 tanggal 13 November 2000, terdapat Yurisprudensi diikuti oleh putusan Mahkamah Agung lainnya :
- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 245 K/TUN/1999 tanggal 30 Agustus 2001;
- Putusan Nomor 448 K/TUN/2007 tanggal 22 September 2005;
- Putusan Nomor 111 K/TUN/2008 tanggal 9 Juli 2008;
- Putusan Nomor 189 K/TUN/2008 tanggal 24 September 2008;
- Putusan Nomor 296 K/TUN/2008 tanggal 3 Desember 2008;
Kesemua putusan itu pada pokoknya menggariskan kaidah hukum
perbuatan lelang merupakan suatu rangkaian perbuatan yang bersifat keperdataan
yang bukan merupakan obyek Sengketa Tata Usaha Negara.
Majelis hakim PTUN Samarida menolak eksepsi terkait PTUN tidak berwenang mengadili perkara tender.
Berikut ini pertimbangan hukum Majelis Hakim PTUN Samarida dalam menolak eksepsi tersebut:
Menimbang, bahwa eksepsi ini diajukan oleh Tergugat yang
pada pokoknya mendalilkan bahwa perbuatan lelang merupakan suatu rangkaian perbuatan
yang bersifat keperdataan yang bukan merupakan objek sengketa tata usaha negara.
Maka sangat jelas gugatan Penggugat merupakan kewenangan absolute dari
Peradilan Umum (perdata);
Menimbang, bahwa mencermati dalil eksepsi Tergugat tersebut
diatas, maka yang menjadi permasalahan hukumnya adalah apakah Pengadilan Tata Usaha
Negara berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa a quo;
Menimbang, bahwa eksepsi tersebut telah ditanggapi oleh
Penggugat sebagaimana termuat dalam Repliknya yang pada pokoknya menolak
dalil-dalil eksepsi Tergugat dan tetap pada gugatannya;
Menimbang, bahwa terhadap eksepsi ini Majelis Hakim
memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut;
Menimbang, bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986) di dalam ketentuan Pasal 50, Pengadilan Tata Usaha Negara diberikan
kewenangan absolut (atributif) untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara di tingkat pertama;
Menimbang, bahwa berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009) di dalam Pasal 1 angka 10, diatur ruang lingkup sengketa tata usaha
negara, dimana terdapat setidaknya tiga tolok ukur untuk menentukan apakah
suatu sengketa dapat dikategorikan sebagai sengketa tata usaha negara atau
bukan. Ketiga tolok ukur tersebut masing-masing adalah tolok ukur pokok
sengketa, tolok ukur subjek sengketa dan tolok ukur objek sengketa yang Ketiga
unsur tersebut bersifat kumulatif, sehingga ketiganya harus terpenuhi
masing-masing unsurnya. Dilihat dari aspek tolok ukur objek sengketa, maka
keberadaan atau terbitnya suatu keputusan tata usaha Negara adalah merupakan
penyebab bagi lahirnya suatu sengketa tata usaha negara di Pengadilan tata
usaha negara;
Menimbang, bahwa terhadap ketiga tolok ukur tersebut
dikaitkan dengan sengketa a quo, Majelis Hakim memberikan pertimbangan hokum sebagai
berikut:
a. Tolok Ukur Objek Sengketa
Menimbang, bahwa dalam Pasal 1 angka 9 UU RI Nomor 51 Tahun 2009,
memberikan kriteria terhadap suatu keputusan (beschikking) yang dapat digugat
di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah:
suatu penetapan tertulis; dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara; berisi tindakan hukum tata usaha negara; berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; bersifat konkret, individual, dan final, serta
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hokum perdata”;
Menimbang, bahwa lebih lanjut berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya dsebut UU Nomor
30 Tahun 2014) dalam ketentuan Pasal 87, ruang lingkup Keputusan Tata Usaha
Negara di atas mengalami perluasan sehingga harus dimaknai pula sebagai;
1. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
2. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
4. bersifat final dalam arti lebih luas;
5. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;
dan/atau
6. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 9 UU RI Nomor 51 Tahun 2009 tersebut yang dihubungkan dengan
objek-objek sengketa a quo, Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut;
Menimbang, bahwa objek sengketa a quo adalah berbentuk
penetapan tertulis, yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan eksekutif, dalam hal ini PPK atas nama Dinas Bidang Marga Dinas PU
Dan Tata Ruang Kota Tarakan yang di pimpin oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan
Tata Ruang Kota Tarakan yakni penerbitan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa
merupakan tindakan hukum konkret, individual dan final serta tidak memerlukan
persetujuan lebih lanjut dan telah pula menimbulkan akibat hukum sejak
diterbitkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas
Majelis Hakim berpendapat bahwa objek sengketa a quo adalah termasuk dalam kategori
Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9
Undang-Undang RI Nomor 51 Tahun 2009;
Menimbang, bahwa setelah mencermati dengan seksama, Majelis Hakim
juga berpendapat bahwa penerbitan Objek Sengketa a quo tidak termasuk dalam
kategori keputusan yang dikecualikan sebagaimana dimaksud Pasal 2 Undang Undang
RI Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan tidak pula diterbitkan dalam kondisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 UU RI Nomor 5 Tahun 1986;
b. Tolok Ukur Subjek Sengketa
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU
RI Nomor 51 Tahun 2009 junto Pasal 53 ayat (1) UU RI Nomor 9 Tahun 2004, pada
pokoknya menegaskan bahwa sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata,
yang dalam hal ini berkedudukan sebagai penggugat melawan badan atau pejabat
tata usaha negara yang berkedudukan sebagai Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU
RI Nomor 51 Tahun 2009 tersebut, dihubungkan dengan surat gugatan Penggugat,
dapat dikualifikasi bahwa CV Mantap adalah selaku badan hokum yang
mempertahankan hak keperdataannya dalam kedudukannya sebagai Penggugat, dalam
hal ini telah mengajukan gugatan terhadap Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata
Ruang Kota Tarakan selaku pejabat tata usaha negara dengan kedudukan sebagai
Tergugat. Dengan demikian unsur subjek sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 telah terpenuhi;
c. Tolok Ukur Pokok Sengketa
Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Nomor
51 Tahun 2009 pada pokoknya mengatur bahwa sengketa tata usaha negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004, dapat ditafsirkan secara
sistemik bahwa pokok persengketaan di Pengadilan tata usaha negara adalah
penilaian perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum, khususnya dalam
pengujian keabsahan keputusan tata usaha Negara dengan dasar pengujian berupa
peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik,
dengan tuntutan pokok agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah;
Menimbang, bahwa adapun yang menjadi dasar dan alasan
gugatan Penggugat sebagaimana termuat dalam Surat Gugatan, diantaranya adalah sebagai
berikut:
- Bahwa dalam pelelangan pekerjaan peningkatan jalan Korpri
(DAK 2019) pemeriksaan dokumen penawaran penggugat dilakukan secara tidak
benar, tidak adil, tidak transparan serta tidak terbuka;
Menimbang, bahwa atas dasar dan alasan tersebut Penggugat mendalilkan
penerbitan Objek Sengketa telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, khususnya tidak sesuai dengan peraturan presiden nomor 16 Tahun
2018 dan telah melanggar asas umum pemerintahan yang baik khususnya asas
kepastian hukum; sehingga Penggugat memohon kepada Pengadilan agar objek
Sengketa dinyatakan batal atau tidak sah;
Menimbang, bahwa berdasarkan pada fakta tersebut, Majelis
Hakim berpendapat bahwa pokok persengketaan dalam sengketa a quo termasuk dalam
kategori sengketa tata usaha negara, yang dalam hal ini menyangkut pengujian
prosedur penerbitan Keputusan objek sengketa;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut
diatas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa sengketa a quo merupakan sengketa tata
usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009;
Menimbang, bahwa pada tahun 2014 telah diundangkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 yang didalamnya memuat pengaturan secara umum mengenai
upaya administratif, dan atas dasar tersebut kemudian Mahkamah Agung RI
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang pedoman
penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya
administrasi (selanjutnya disebut PERMA Nomor 6 Tahun 2018) dimana dalam Pasal
2 PERMA Nomor 6 Tahun 2018 tersebut dinyatakan bahwa Pengadilan baru berwenang
menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi
pemerintahan setelah menempuh upaya administratif. Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa saat ini untuk menentukan suatu kewenangan absolut Pengadilan
Tata Usaha Negara adalah dengan mengacu kepada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 juncto Pasal 2 PERMA Nomor 6 Tahun 2018;
Menimbang, bahwa diperoleh fakta hukum bahwa terhadap penerbitan
objek sengketa a quo Penggugat telah mengajukan upaya administratif berupa keberatan
secara tertulis tertanggal 16 Juli 2019 dan telah diterima Tergugat pada
tanggal 17 Juli 2019 yang ditujukan kepada Tergugat hal mana atas keberatan
tersebut belum ditanggapi oleh Tergugat, kemudian penggugat mengajukan gugatan
pada tanggal 6 Agustus 2019, dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa
Penggugat telah melakukan upaya administrative sebagaimana dimaksud Pasal 75
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014;
Menimbang, bahwa sesuai pertimbangan hukum di atas yaitu
bahwa sengketa a quo merupakan sengketa tata usaha negara dan Penggugat telah melakukan
upaya administratif berupa keberatan apabila dihubungkan dengan Pasal 50
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 2 PERMA Nomor 6 Tahun 2018, maka
Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara cq Pengadilan
Tata Usaha Negara Samarinda secara absolut memiliki kewenangan untuk memeriksa,
memutus dan meyelesaikan sengketa a quo, dengan demikian eksepsi Tergugat
mengenai kompetensi absolut Pengadilan yang meliputi eksepsi objek gugatan
bukanlah objek Tata Usaha Negara haruslah ditolak;
No comments:
Post a Comment