Penerapan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016, telah memakan banyak korban. Korbannya bukan hanya masyarakat biasa, tetapi juga kalangan jurnalistik dan akademisi, bahkan aktivis buruh yang melakukan advokasi terhadap pekerja. Ancaman bukan hanya dari penggunaan pasal-pasal pidana dalam UU ITE, tetapi juga serangan siber. Misalnya serangan siber yang menimpa beberapa media massa akibat pemberitaan.
Ironis, sejumlah kasus serangan siber yang menimpa aktivis dan media massa tak berhasil diungkap hingga mendekati akhir tahun 2020. Beda halnya dengan kasus-kasus yang menimpa instansi atau tokoh pemerintah, penanganannya cepat dilakukan. Itu sebabnya, salah satu kritik Ade Wahyudi adalah ketidakadilan dalam penerapan UU ITE. “Ada ketimpangan penerapan pidana UU ITE,” ujar Direktur LBH Pers ini dalam webinar ‘Pencemaran Nama Baik dan Ujaran Kebencian dalam Satu Dekade UU ITE’, Selasa (22/12) siang.
Berdasarkan pantauan LBH Pers, dua pasal yang palung krusial dan menjerat banyak orang adalah Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghindaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal 28 ayat (2) menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Wakil Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Era Purnama Sari, malah lebih keras melayangkan kritik terhadap implementasi UU ITE selama ini. “Seharusnya UU ITE menjadi pendorong kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi teror bagi banyak orang,” tegasnya dalam webinar yang sama.
Mantan Direktur LBH Padang itu mengkhawatirkan kecenderungan implementasi UU ITE yang multitafsir dan politis. Misalnya dapat dilihat dari penggunaan UU ITE untuk membungkam pihak yang melayangkan kritik (termasuk aktivis dan jurnalis) dan lawan politik. Pejabat yang sedang mengemban jabatan pun menggunakan UU ITE untuk melaporkan orang yang melayangkan kritik terhadap kebijakannya.
Kecenderungan lain adalah meletakkan pasal pencemaran nama baik sebagai delik formil sehingga akibat dari perbuatan itu tidak menjadi unsur yang harus dibuktikan. Dalam beberapa kasus, pengertian ‘golongan’ dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dimaknai secara luas sehingga meliputi partai politik dan ikatan profesi dokter. Perluasan ini mendapat legitimasi dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XV/2017, yang pada intinya menyatakan antar golongan tidak hanya meliputi suku, agama dan ras, tetapi melebihi dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakilkan atau terwadahi oleh suku, agama dan ras.
Perluasan penafsiran dalam praktik itulah yang pada akhirnya menyasar banyak orang. Pemahaman aparat penegak hukum, khususnya hakim, terhadap pencemaran nama baik dan penghinaan pun beragam. Salah satu yang sering dilupakan adalah tujuan; apakah orang yang mengeluarkan pernyataan atau membuat tulisan benar-benar bertujuan melakukan penghinaan atau pencemaran. Cara berpikir ini dapat dilihat dalam putusan PK perkara Prita Mulyasari. Prita menyampaikan keluhan mengenai pelayanan salah satu rumah sakit, kemudian dilaporkan ke polisi. Putusan Peninjauan Kembali (No. 225 PK/Pid.Sus/2011) menegaskan bahwa hakim kasasi telah melakukan kekeliruan yang nyata, karena Prita sama sekali tidak memiliki tujuan untuk melakukan pencemaran. Dalam kasus ini, Era mengatakan, hakim meletakkan pencemaran sebagai tujuan untuk dapat dipidananya seseorang.
Dosen Universitas Bina Nusantara, Bambang Pratama, mengatakan apakah pasal-pasal UU ITE adalah pasal karet sangat bergantung pada penilaian masing-masing orang. Bambang berpendapat sebenarnya pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE memiliki parameter yang jelas, setidaknya dibandingkan ketentuan serupa dalam KUHAP. Parameternya adalah menyerang kehormatan dan menunduhkan sesuatu. Kondisi diketahui umum antara lain dipertunjukan, ditempel, atau disiarkan; dalam bentuk tulisan atau gambar. Pengecualiannya pun ada yakni kepentingan umum, dan membela diri.
Informasi yang bersifat negatif dalam teks perundang-undangan dapat berupa istilah kebohongan, menista, provokasi, kebencian, dan permusuhan. Norma dalam UU ITE berupa penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; dan kebohongan yang menimbulkan kebencian dan/atau permusuhan. Dalam konteks ini, riset yang dilakukan Bambang dengan LBH Pers juga menyinggung pentingnya memahami istilah teknis dalam UU ITE seperti forensik, media sosial, perangkat lunak, dan perangkat keras.
Kritik terhadap implementasi UU ITE bukan kali ini saja disampaikan. Dosen Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, juga melayangkan kritik atas gampangnya aparat penegak hukum menggunakan UU ITE untuk menjerat berbagai kalangan. Upaya menguji pasal pencemaran nama baik bukan tidak pernah dilakukan. Namun, hingga kini, satu per satu warga negara terus menghadapi tuduhan pencemaran nama baik.
Sumber: hukumonline.com
No comments:
Post a Comment